Dinsdag 25 Junie 2013

Riview Studi Islam Kontemporer

Review Buku
Studi Islam Kontemporer
Oleh: Naily Rahmawati (123911074)
Identitas Buku:
Judul               : Studi Islam Kontemporer              Tebal Buku         : 228 halaman
Penulis             : M. Rikza Chamami, MSI              Jenis Kertas         : HVS
Penerbit           : Pustaka Rizki Putra                       Text                    : Bahasa Indonesia
Tahun Terbit    : 2012                                               Jenis Huruf         : Times New Roman

PENDAHULUAN
Agama pada kenyataannya menjadi wujud penghambaan kepada Tuhan dan menjadi penguat untuk hidup yang saling berdampingan. Agama juga menjadi alat untuk menganalisa realitas sosial yang dinamis. Kondisi inilah yang mendorong perlunya kontruksi baru dalam memahami Studi Islam Kontemporer dimana studi Islam dapat dilakukan dengan nalar teologis dengan perspektif yang beragam baik normatif, historis, dan rasionalis.

BAB I
PASANG SURUT KEBANGKITAN KEBUDAYAAN DAN KEILMUAN: POTRET DISINTEGRASI ABBASIYAH
Dinasti Abbasiyah yang berpusat di baghdad ini didirikan oleh keturunan al-Abbas paman Nabi Muhammad, yaitu Abdullah Al-Ashaffah bin Muhammad bin Ali bin Abbas, yang berkuasa dalam rentang waktu yang sangat panjang, sekitar 508 tahunn (750 M/123 H – 1258 M/656 H). Perjalanan dinasti Abbasiyah sejak berdiri hingga berakhir dengan adanya disintegrasi memang sudah tercatat sebagai sjarah islam yang cukup fantastis. Adanya disintegrasi ini ditandai oleh: Pertama, munculnya dinasti-dinasti kecil di barat maupun timur baghdad yang berusaha melepaskan diri atau meminta otonomi. Kedua, perebutan kekuasaan oleh dinasti Buwaihi dari Persia dan Saljuk dari Turki di Baghdad, sehingga menjadikan fungsi khalifah bagaikan boneka. Ketiga, lahirnya perang salib antara pasukan Islam dengan pasukan salib Eropa. Terjadinya disintegrasi ini akan berimplikasi pada kehancuran konsilidasi politik dan niat untuk melakukan ekspansi. Sektor lain yang ikut mengalami gangguan adalah pendidikan, budaya, ekonomi, politik, dan lain-lain.
Menurut Professor Nicholson, sejumlah besar para penyelidik dan penuntut ilmu pengetahuan dan kalangan muslimin dengan penuh semangat mengembara ketengah-tengah 3 benua. Para penyelidik itu memperhatikan dan duduk di khalayak ramai menunggu kepulangan mereka untuk mendapatkan ilmu pengetahuan dan ma’rifat yang mereka peroleh. Kebudayaan itu akan berkembang dengan luas di kalangan sesuatu umat apabila umat itu berada dalam keadaan yang tentram dan ekonomi yang stabil.  

BAB II
KAJIAN KRITIS DIALEKTIKA FENOMENOLOGI DAN ISLAM
Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata fenomen yang artinya gejala, yaitu suatu hal yang tidak nyata dan semua. Juga dapat diartikan sebagai ungkapan kejadian yang yang dapat diamati lewat indra. Dalam filsafat fenomenologi, arti tersebut berbeda dengan apa yang dimaksud, yaitu bahwa suatu gejala tidak perlu harus diamati indra, karena gejala juga dapat dilihat secara batiniah, dan tidak kejadian-kejadian, dan yang lebih penting adalah dalam filsafat fenomenologi sebagai sumber berfikir yang kritis.
Sebagai filsafat, fenomenologi menurut Edmund Husserl memberi pengetahuan yang perlu dan esendial tentang apa yang ada. Dalam langkah penyelidikannya, ia menemukan obyek (yang tidak terbatas banyaknya) yang membentuk kesadaran di mana ia ditemukan. Dengan begitu fenomenologi dijelaskan sebagai kembali kepada benda, sebagai lawan ilusi atau susunan fikiran, karena benda adalah obyek kesadaran yang langsung dalam bentuknya yang murni.
Pendekatan Phenomenologi, yaitu pendekatan yang mengemukakan bahwa obyek ilmu tidak terbatas pada yang empirik (sensual), melainkan mencakup fenomena lain baik persepsi, pemikiran kemauan dan keyakinan subjek tentang suatu yang transenden, disamping yang aposteoritik.

BAB III
FILSAFAT MATERIALISME KARL MARK DAN FRIEDRICK ENGELS
Filsafat sering disebut sebagai ilmu yang menyelidiki dan menentukan tujuan ahir serta makna terdalam dari realita manusia. Filsafat juga dikatakan sebagai seni berfikir. Apalagi perkembangan dewasa ini, filsafat sudah mulai menjadi idola dalam mendukung proses berfikir dan berinteraksi dengan ilmu.
Tokoh materialisme adalah Karl Marx dan Friedrik Engels, mereka yang akan menjawab ketidak puasan terhadap idealisme maupun positivisme. Karl Marx lahir 5 Mei 1818 di Trier, kota di perbatasan Barat Jerman, yang saat itu masuk wilayah Prussia. Sepanjang hidupnya ia dikenal sebagai lelaki yang payah. Karena ia otoriter, dan dalam debat selain tak mau kalah, dia juga acap mencibir, lalu memburuk-burukkan pribadi rekannya. Ia meninggal di London, 14 Maret 1883. Sedangkan Friedrick Engels lahir di Barmen Jerman 1820 dan meninggal di London pada tahun 1895. Mereka berdua sering disebut “Bapa Pendiri Komunisme”.
Marx dan Engels adalah filsuf yang menggagas materialisme dialiktis dan materialisme historis yang berkiblat pada Hengels secara kritis dengan melakukan rekontruksi. Materialisme itu sendiri adalah sistem pemikiran yang meyakini materi sebagai satu-satunya keberadaan yang mutlak dan menolak keberadaan apapun selain materi. Sedangkan Marx menyatakan bahwa di negeri Jerman, kritik terhadap agama dalam garis besar sudah lengkap, dan kritik agama merupakan titik tolak untuk seluruh kritik. Landasan untuk kritik sekuler adalah manusialah yang menciptakan agama, bukan agama yang menciptakan manusia. Agama adalah kesadaran diri dan harga diri manusia yang belum menemukan diri atau sudah kehilangan diri sendiri.

BAB IV
SKEPTISISME OTENTITAS HADITS:
KRITIK ORIENTALIS IGNAZ GOLDZIHER
Ignaz Goldziher adalah seorang orientalis Hongaria yang dilahirkan di Szekesfehervear, Hongaria. Dia termasuk turunan dari keluarga yahudi. Beliau meninggal dunia pada tanggal 13 Nopember 1921. Goldziher menguntip apa yang dikatakan Ibn Shihab al Zuhri “inna haulani al umara akrahumma ‘ala kitab ahadits”, sesungguhnya para pejabat telah memaksa kami untuk menulis hadits. Kata ahadits dan kutipan Goldziher tidak memakai “al” dalam bahasa Arab menunnjukkan sesuatu yang sudah difinitif/ma’rifah.
Keraguan Goldziher tentang keabsahan dan otenstitas Hadits bukan saja ketika ia mengemukakan makna hadits dan sunnah yang kemudian mendapat revisi dan kedudukan dalam Islam. Ia melihat faktor lain tentang kondisi mayarakat Islam abad pertama Hijriyah dimana hadits saat itu mulai memasuki perkembangan awal. Ketika membahas perkembangan hadits pada masa Umayyah dan Abbasiyah, atau lebih umumnya abad pertama Hijriyyah, Goldziher menggambarkannya sebagai kondisi masyarakat yang belum memiliki kemampuan cukup untuk memahami dogma-dogma keagamaan, memelihara situs-situs keagamaan dan mengembangkan doktrin agama yang komplek.

BAB V
TELAAH SOSIO-KULTURAL: MANHAJ AHLUL MADINAH
Dalam buku ini dikatakan bahwa Hukum Islam dianggap sebagai hukum yang sakral oleh orang-orang Islam, yang mencakup tugas-tugas agama yang datang dari Allah dan diwajibkan terhadap semua orang Islam dan semua aspek kehidupan mereka. Pemikiran hukum Islam tentunya harus dibedakan dengan hukum Islam itu sendiri. Hukum Islam adalah syari’at dan pemikiran hukum Islam sama dengan fiqh. Yang dimaksud dengan syari’at itu adalah keseluruhan ajaran agama (ad-Diin) yang disyari’atkan Allah kepada kaum muslimin baik dengan al-Qur’an atau dengan Hadits, atau semua yang datang dari Allah untuk hamba-Nya yang dibawa oleh Nabi-Nabi yang berupa hukum-hukum baikberkenaan dengan cara beri’tikad, maka syari’at bisa disebut juga ad-Diin atau millah
Manhaj ahlul Madinah lahir dalam kondisi yang memberikan iklim kesejukan di dalam memahami hukum Allah. Hukum yang diterbitkan ahlul Madinah banyak berpijak bagaimana teks Allah itu berbicara. Pada dasarnya fiqh ahlul Madinah adalah fiqh yang berada dalam masa shahabat dimana disitu ada al-shahabat al-sab’ah, mereka adalah Sa’id bin Musayyab, Urwah bin Zubair, Abu Bakar bin Abdurrahman, Ubaidillah bin Abdullah, Khorijiah bin Zaid, Al-Qosim bin Muhammad, Sulaiman bin Yusuf.
Pembagian ke dalam dua golongan ini Madinah dan Iraq berakar pada masa sahabat. Di masa itu sumber hukum fiqh secara urut adalah Al-Qur’an, sunnah Nabi Muhammad SAW dan ra’yu. Golongan ahlul-hadits kurang menggunakan ra’yu karena khawatir keliru dalam berijtihad tentang agama. Pada akhirnya ahlul Ra’yi sering disebut atau dikenal dengan dengan sebutan Madrasah ra’yu atau Madrasah al-kufah yaitu sekelompok ulama’ yang tinggal di Kufah yang lebih banyak menggunakan ra’yu dibandingkan dengan Madrasah Madinah. Slain itu ahlul hadits mempunyai keutamaan dalam memegang hadits dan mengumpulkannya, namun menjadi sebab yang tidak langsung bagi timbulnya hadits-hadits palsu. Madzhab-madzhab yang dikenal sebagai ahlul hadits adalah madzhab asy-Safi’i, madzhab Hambali dan madzhab Maliki.

BAB VI
POSTMODERNISME: REALITAS FILSAFAT KONTEMPORER
Gerakan postmodernisme telah merambah ke berbagai bidang kehidupan, termasuk seni, ilmu, filsafat, dan pendidikan. Arus postmodernisme, yang merupakan respon keras atas modernisme, selama dua tiga dekade belakangan begitu hebat mewarnai dan memengaruhi diskursus intelektual di negeri ini.
Postmodernisme oleh J. F. Lyotard dalam bukunya La Condition Postmoderne (1979), diartikan secara sederhana sebagai “incredulity towords metanarratives” (ketidak percayaan terhadap matanarasi). Matanarasi yang dimaksud, misalnya: kebebasan kemajuan, emansipasi kaum proleter, dan sebagainya. Lyotard adalah filsof yang memperkenalkan istilah postmodernisme ke dalam bidang filsafat. Bagi dia, postmodernisme itu sepertinya adalah sebuah “intensifikasi dinamisme”, upaya tak henti-hentinya untuk mencari kebaruan, eksperimentasi, dan revolusi kehidupan terus. Dengan kata lain, dalam bidang filsafat postmodernisme diartikan sebagai “segala bentuk refleksi kritis atas paradigma-paradigma modern dan atas metafisika pada umumnya”.
Konsep posmo pertama kali muncul di lingkungan gerakan arsitektur. Arsitektur modern berorientasi pada fungsi struktur, sedangkan arsitektur posmo berupaya menampilkan makna simbiotik dari konstruksi dan ruang. Sejumlah ahli mendeskripsikan posmo sebagai menolak rasionalitas yang digunakan oleh para fungsionalis, rasionalis, interpretif dan tori kritis. Posmo bukan menolak rasionalitas tetapi tidak membatasi pada standar termasuk yang divergen, horizontal, dan heterarkhik tetapi lebih menekankan pada pencarian rasionalitas aktif kreatif. Tata fikir spesifik posmo adalah kontradiksi, kontroversi, paradoks, dan dilematik. Posmo lebih melihat realitas sebagai problematic, sebagai yang selalu perlu di-inquired, yang selalu perlu di-incovered, sebagai yang kontroversial.
Maka dari itu, geliat postmodernisme yang lebih dikenal posmo menjadi trend filsafat saat ini yang masih sering didiskusikan oleh semua kalangan. Ini menandakan bahwa posmo tak habisnya bagai garam di laut yang tak habis dan bagai samudra yang tak berujung. Posmo boleh dikatakan sebagai filsafat kontemporer yang masih trend sampai saat ini.

BAB VII
POTRET METODE DAN CORAK TAFSIR AL-AZHAR
Agama memang sangat membutuhkan tafsir untuk memudahkan umatnya memahami makna pesan Tuhan dalam kitab sucinya. Pemahaman tafsir itu pulalah yang akhirnya harus membuka kajian konseptual dan historis. Secara konseptual, agama dapat dikatakan sebagai “komunitas tafsir”, sehingga kajian terhadap agama itu pada dasarnya adalah penafsiran terhadap tafsir.
Dalam buku ini dituliskan bahwa metode dan corak tafsir al-azhar itu di terdiri dari metode analitas (Tahlili) dan corak kombinasi al-adabi al-ijtima’i-sufi, dalam metode analitas (Tahlili) Hamka memakai metode tahlili (analisis) bergaya khas tertib mushaf. Yang dimaksud metode analitis ialah menafsirkan ayat-ayat al-Quran dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup didalamnya. Dalam metode ini biasanya mufassir menguraikan makna yang dikandung al-Quran ayat demi ayat dan surat demi surat sesuai dengan urutannya didalam mushaf. Dan corak yang dikedepankan oleh Hamka dalam Al-azhar adalah kombinasi al-Adabi al-Ijtima’i-sufi. Corak tafsir al-Adabi al-Ijtima’i (sosial kemasyarakatan) adalah suatu cabang dari tafsir yang muncul pada masa moderen ini, yaitu corak tafsir yang berusaha memahami nash-nash al-Qur’an dengan cara pertama dan utama mengemukakan ungkapan-ungkapan al-Qur’an secara teliti.
Hamka adalah seorang pemikir muslim progresif dan tokoh Muhammadiyah yang rela korban dalam memperjuangkan Islam hingga dia dipenjara.  Namun masuknya di ke penjara bukan menjadi hambatan dalam berkarya, justru di dalam sel kala itu ia menyelesaikan penulisan Tafsir al-Azhar. Tafsir Al-Azhar adalah salah satu tafsir karya warga Indonesia yang dirujuk atau dianut dari Tafsir Al-Munar karya Muhammad Abdu dan Rasyid Ridla.

BAB VIII
DISKURSUS METODE HERMENEUTIKA AL-QUR’AN
Guna memahami Islam secara exhaustive (menyeluruh) persoalan historis-sosiologis dan semiotis-kebahasan seharusnya memperoleh perhatian lebih dahulu sebelum memusatkan diri pada kajian teologis. Akibat minimumnya analisis historis-sosiologis-hermeneutis terhadap Islam, maka al-Qur’an bisa tereduksi ataupun terputus dari konteks dan relevansi historisnya, sehingga studi keislaman kemudian hadir dalam paket-paket produk ulama abad pertengahan yang disintegratik dan cenderung dianggap to be (final) yang akhirnya melahirkan apa yang dinamakan taqdisul afkar al-dini (pensakralan produk-produk pemikiran keagamaan). Kecenderungan umat Islam pada saat ini lebih suka mengkonsumsi al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari secara langsung ketimbang memandangnya terlebih dahulu dengan metode studi ilmiah kontemporer. Oleh sebab itulah, al-Qur’an yang dianggap sebagai kitab suci – dimana ketika dibaca mendapatkan pahala dan dijaga otentitasnya – tidak hanya berhenti dipahami disitu. Akan tetapi harus dicari bagaimana kandungan meknanya, yang salah satu metode pemahaman itu menggunakan hermeneutika.
Terminologi hermeneutika memang seringkali terdengar di telinga kita sebagai salah satu paradigma keilmuwan yang terkait dengan penafsiran teks-teks kitab suci. Hermeneutika terkadang dikenal sebagai bentuk metode filsafat kontemporer yang mencoba menguak makna sesuatu teks. Secara etimologis kata hermeneutiaka berasal dari bahasa Yunani hermeneue yang dalam bahasa Inggrisnya menjadi hermeneutics (to interpret) yang berarti menafsirkan, menjelaskan dan menginterpretasikan atau menerjemahkan. Dalam perkembangannya, hermeneutika mengalami perkembangan dan perubahan-perubahan persepsi dan model pemakaiannya yang muncul dari keragaman pendefinisian dan pemahaman terhadap hermeneutika. Dalam laju perkembangannya, hermeneutika mengalami perubahan dalam memperlakukan sebuah teks. Perkembangan ini merambat sejalan dengan berkembangnya rasionalisme dan filologi pada Abad Pencerahan. Pada perkembangan selanjutnya, hermeneutika tidak cukup hanya dipersepsikan sebagai hermeneutika filologi saja, namun lebih juga merupakan satu disiplin pemahaman linguistik. Dalam perkembangan selanjutnya muncul Wilhelm Dilthey, beranggapan bahwa hermeneutika sebenarnya layak untuk dipertimbangkan sebagai landasan epistimologi bagi ilmu-ilmu kultural (humaniora), dan tidak sekedar pemahaman atau penafsiran teks. Tetapi berbeda lagi dengan Heidegger, beliau berpendapat bahwa hemeneutika bukan sekedar berarti metode filologi ataupun geisteswissenschaft, akan tetapi merupakan ciri hakiki manusia. Hermeneutika adalah ciri khas yang sebenarnya dari manusia. Memahami dan menafsirkan adalah bentuk paling mendasar dari keberadaan manusia. Hermeneutika sendiri bertujuan untuk menghilangkan mistri yang terdapat dalam sebuah simbol dengan cara membuka selubung-selubung yang menutupinya.
Mengenal istilah hermeneutika dalam konteks al-Qur’an memang sering kali dinilai rancu. Ini disebabkan hermeneutika muncul tradisi Barat yang banyak dihasilkan oelh orang-orang non-Islam. Orang dengan mudah memahami hermeneutika sama seperti ilmu tafsir yang bersifat filosofis dan mencoba membeberkan makna detail. Begitu pula ketika memperbincangkan tafsir, tentu saja yang diasumsikan adalah satu variabel agama yang dekat yakni kitab suci (dalam Islam adalah al-Qur’an), maka dari itu seringkali orang menyederhanakan tafsir dengan nama hermeneutika.

BAB IX
JAWA DAN TRADISI ISLAM
PENAFSIRAN HISTORIOGRAFI JAWA MARK R WOODWARD
Mark R. Woodward adalah seorang Profesor Islam dan Agama-Agama asia Tenggara di Arizona State University merupakan sosok yang sangat tegas menyatakan bahwa Islam Jawa adalah Islam, ia bukan Hindhu atau Hindu-Budha, sebagaimana dituduhkan oeleh Geertz dan sejarawan-antropolog lainnya. Clifford Greetz membagi Islam Jawa menjadi tiga varian keagamaan, yaitu abangan, santri, dan priyayi.
Bagi Mark R. Woodward, Islam Jawa adalah unik, bukan karena ia mempertahankan aspek-aspek budaya dan agama pra Islam, tetapi karena konsep sufi mengenai kewalian, jalan mistik dan kesempurnaan manusia diterapkan dalam formulasi suatu kultus keraton. Beliau juga mengungkapkan tentang kondisi masyarakat Jawa dan Tradisi Islam dengan menggunakan data teks Jawa dan etnografis. 
Secara historis sesungguhnya terdapat kesulitan untuk memastikan tentang kehadiran Islam pertama kali di Jawa. Akan tetapi adanya catatan pada nisan kubur Fatimah binti Maimun di Laren yang bertahun 1082 M secara umum dijadikan sebagai bukti yang kongkrit bagi kedatangan agama Islam di Jawa. Kedatangan Islam, sebagai suatu sistem nilai, jelaslah hal yang baru ketika itu. Sebelum itu, masyarakat Jawa (Nusantara) menganut agama Hindu dan Budha, disamping nilai-nilai budaya asli. Sesuai dengan kondisi lingkungan dan struktur sosialnya, ajaran Islam itu lebih cepat tumbuh dan terintegrasi di masyarakat pesisiran.
Mark R. Woodward sangat kritis terhadap karya Greetz yang mencari titik temu antara agama (Islam) dengan kultur (Jawa) menyimpan kekhawatiran laten akan berkurangnya otentisitas dan kemurnian ajaran agama itu. Selain itu terdapat masalah lain yang perlu mencari jalan keluar, bagaimana bisa membangun suatu praktik keagamaan yang terbuka, egaliterian, namun tidak mengorbankan otentitas suatu agama.

BAB X
REINTERPRETASI
PROVIL PERADABAN ISLAM
Peradaban dan perubahan merupakan dua peristiwa yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain karena manusia  merupakan pelaku utama kegiatan untuk membangun peradaban itu. Apakah perubahan yang terjadi memberikan pengaruh tertentu pada pola pikir dan perilaku manusia? Sedangkan peradaban moodern yang ada saat ini identik dengan iklim politik dominasi, kemajuan dan lompatan ilmu pngetahuan, ketergantungan teknologi serta penyebaran sumber ekonomi melalui imperialisme, eksplorasi, dan eksploitasi.
Secara etimologis kata peradaban adalah terjemahan dari kata Arab al-Hadlarah atau al-Madaniyah, dan civilazation dalam bahasa Inggris. Secara terminologis, minoritas sejarawan yang mengungkapkan aspek-aspek persamaan dan pengertian kebudayaan dan peradaban. Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan paling tidak mempunyai tiga wujud:
1.                  Wujud ideal, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya;
2.                  Wujud kelakuan, yaitu kebudayaan sebagai suatu kompleks aktifitas kelakuan berpola dari manusia dan masyarakat; dan
3.                  Wujud benda, yaitu wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya cipta manusia masyarakat.
Sedangkan peradaban adalah bentuk kebudayaan yang paling ideal dan puncak, sehingga menunjukkan keadaban (madaniyah), kemajuan (taqaddum) dan kemakmuran (‘umran) suatu masyarakat. Peradaban itu sendiri bersifat abstrak seprti sains murni, maka peradaban adalah hasil penerapannya seperti teknologi dan produk-produknya.
Sedangkan kebudayaan (culture) adalah usaha atau ekspresi manusia untuk mengembangkan rasa, cipta dan karsanya. Jadi makna kebudayaan itu lebih luas dari peradaban, karena makna “kemajuan dan perkembangan” pada kbudayaan sifatnya mendasar sedangkan peradaban merupakan perkembangan dan kemajuan yang lebih lanjut dari kebudayaan itu sendiri.
Secara harfiyah Islam berasal dari bahasa Arab Salama-Yusalimu-Salamatan yang berarti selamat atau damai. Jadi secara umum dapat ddikatakan bahwa Islam adalah agama yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW untuk membawa umatnya kepada kedamaian dan keselamatan. Jadi, istilah peradaban Islam disini adalah peradaban umat Islam yang lahir dari motivasi keagamaan dan diwujudkan dalam berbagai bentuk. Sementara landasan “kebudayaan Islam” adalah agama.
Seluk beluk peradaban Islam itu ketika masyarakat Islam tidak dalam posisi merjinal dan punya rasa percaya diri yang tinggi, maka mereka akan mampu menampilkan wajah Islam yang terbuka, progresif, kosmopolit, dan karakter liberal. Paling tidak peradaban Islam terbentuk dari empat bagian pokok, yaitu Sumben ekonomi, Tatanan politik, Tradisi moral, Khazanah ilmu seni.
Pusat peradaban Islam itu berada di Bagdad (Irak), Kairo (Mesir), Ishafan (Persia), dan Istambul (Turki). Menengok pusat peradaban Islam pembangunan kota Baghdad sangat erat kaitannya dengan berdirinya Dinasti Bani Abbas pada tahun 750 M. Setelah mengalahkan dan menghancurkan Dinasti Umayyah yang berkedudukan di Damaskus.
Strategi kebudayaan dan peradaban Islam, tesis Samuel P Huntington tentang the clas of civilization dapat dijadikan langkah awal dalam melihat posisi peradaban Islam di tengah konstalasi peradaban global. Huntington menyebutkan didunia ini terdapat tiga poros peradaban besar: Barat, Cina, Islam. Meskipun tesis Huntington menyebutkan tiga poros peradaban yang menjadi mainstrem di abad modern saat ini, namun ada dua kutub yang seringkali dipertentangkan secara diametral yaitu peradaban Barat versus peradaban Islam.

Kelebihan buku:
1.        Judul buku sangat menarik.
2.        Isi yaang ada didalamnya sudah sesuai dengan topik.
3.        Menjelaskan Studi Islam Kontemporer secara jelas.
Kelemahan buku:
1.        Banyak menggunakan kata ilmiah yang belum bisa dimengerti oleh pembaca.
2.        Dalam pengetikan masih ada kesalahn.