Review Buku
Studi Islam Kontemporer
Oleh: Naily Rahmawati (123911074)
Identitas
Buku:
|
Judul
: Studi Islam
Kontemporer Tebal Buku : 228 halaman
Penulis : M. Rikza Chamami, MSI Jenis Kertas : HVS
Penerbit : Pustaka Rizki Putra Text : Bahasa Indonesia
Tahun
Terbit : 2012
Jenis Huruf : Times New
Roman
|
PENDAHULUAN
Agama
pada kenyataannya menjadi wujud penghambaan kepada Tuhan dan menjadi penguat
untuk hidup yang saling berdampingan. Agama juga menjadi alat untuk menganalisa
realitas sosial yang dinamis. Kondisi inilah yang mendorong perlunya kontruksi
baru dalam memahami Studi Islam Kontemporer dimana studi Islam dapat dilakukan
dengan nalar teologis dengan perspektif yang beragam baik normatif, historis,
dan rasionalis.
BAB I
PASANG SURUT KEBANGKITAN KEBUDAYAAN DAN KEILMUAN:
POTRET DISINTEGRASI ABBASIYAH
Dinasti
Abbasiyah yang berpusat di baghdad ini didirikan oleh keturunan al-Abbas paman
Nabi Muhammad, yaitu Abdullah Al-Ashaffah bin Muhammad bin Ali bin Abbas, yang
berkuasa dalam rentang waktu yang sangat panjang, sekitar 508 tahunn (750 M/123
H – 1258 M/656 H). Perjalanan dinasti Abbasiyah sejak berdiri hingga berakhir
dengan adanya disintegrasi memang sudah tercatat sebagai sjarah islam yang
cukup fantastis. Adanya disintegrasi ini ditandai oleh: Pertama,
munculnya dinasti-dinasti kecil di barat maupun timur baghdad yang berusaha
melepaskan diri atau meminta otonomi. Kedua, perebutan kekuasaan oleh
dinasti Buwaihi dari Persia dan Saljuk dari Turki di Baghdad, sehingga
menjadikan fungsi khalifah bagaikan boneka. Ketiga, lahirnya perang
salib antara pasukan Islam dengan pasukan salib Eropa. Terjadinya disintegrasi
ini akan berimplikasi pada kehancuran konsilidasi politik dan niat untuk
melakukan ekspansi. Sektor lain yang ikut mengalami gangguan adalah pendidikan,
budaya, ekonomi, politik, dan lain-lain.
Menurut
Professor Nicholson, sejumlah besar para penyelidik dan penuntut ilmu
pengetahuan dan kalangan muslimin dengan penuh semangat mengembara
ketengah-tengah 3 benua. Para penyelidik itu memperhatikan dan duduk di
khalayak ramai menunggu kepulangan mereka untuk mendapatkan ilmu pengetahuan
dan ma’rifat yang mereka peroleh. Kebudayaan itu akan berkembang dengan luas
di kalangan sesuatu umat apabila umat itu berada dalam keadaan yang tentram dan
ekonomi yang stabil.
BAB II
KAJIAN KRITIS DIALEKTIKA FENOMENOLOGI DAN ISLAM
Secara
etimologis fenomenologi berasal dari kata fenomen yang artinya gejala,
yaitu suatu hal yang tidak nyata dan semua. Juga dapat diartikan sebagai
ungkapan kejadian yang yang dapat diamati lewat indra. Dalam filsafat
fenomenologi, arti tersebut berbeda dengan apa yang dimaksud, yaitu bahwa suatu
gejala tidak perlu harus diamati indra, karena gejala juga dapat dilihat secara
batiniah, dan tidak kejadian-kejadian, dan yang lebih penting adalah dalam
filsafat fenomenologi sebagai sumber berfikir yang kritis.
Sebagai
filsafat, fenomenologi menurut Edmund Husserl memberi pengetahuan yang perlu
dan esendial tentang apa yang ada. Dalam langkah penyelidikannya, ia menemukan
obyek (yang tidak terbatas banyaknya) yang membentuk kesadaran di mana ia
ditemukan. Dengan begitu fenomenologi dijelaskan sebagai kembali kepada benda,
sebagai lawan ilusi atau susunan fikiran, karena benda adalah obyek kesadaran
yang langsung dalam bentuknya yang murni.
Pendekatan
Phenomenologi, yaitu pendekatan yang mengemukakan bahwa obyek ilmu tidak
terbatas pada yang empirik (sensual), melainkan mencakup fenomena lain
baik persepsi, pemikiran kemauan dan keyakinan subjek tentang suatu yang
transenden, disamping yang aposteoritik.
BAB III
FILSAFAT MATERIALISME KARL MARK DAN FRIEDRICK ENGELS
Filsafat
sering disebut sebagai ilmu yang menyelidiki dan menentukan tujuan ahir serta makna
terdalam dari realita manusia. Filsafat juga dikatakan sebagai seni berfikir.
Apalagi perkembangan dewasa ini, filsafat sudah mulai menjadi idola dalam
mendukung proses berfikir dan berinteraksi dengan ilmu.
Tokoh
materialisme adalah Karl Marx dan Friedrik Engels, mereka yang akan menjawab
ketidak puasan terhadap idealisme maupun positivisme. Karl Marx lahir 5 Mei
1818 di Trier, kota di perbatasan Barat Jerman, yang saat itu masuk wilayah
Prussia. Sepanjang hidupnya ia dikenal sebagai lelaki yang payah. Karena ia
otoriter, dan dalam debat selain tak mau kalah, dia juga acap mencibir, lalu
memburuk-burukkan pribadi rekannya. Ia meninggal di London, 14 Maret 1883.
Sedangkan Friedrick Engels lahir di Barmen Jerman 1820 dan meninggal di London
pada tahun 1895. Mereka berdua sering disebut “Bapa Pendiri Komunisme”.
Marx
dan Engels adalah filsuf yang menggagas materialisme dialiktis dan materialisme
historis yang berkiblat pada Hengels secara kritis dengan melakukan
rekontruksi. Materialisme itu sendiri adalah sistem pemikiran yang meyakini
materi sebagai satu-satunya keberadaan yang mutlak dan menolak keberadaan
apapun selain materi. Sedangkan Marx menyatakan bahwa di negeri Jerman, kritik
terhadap agama dalam garis besar sudah lengkap, dan kritik agama merupakan
titik tolak untuk seluruh kritik. Landasan untuk kritik sekuler adalah
manusialah yang menciptakan agama, bukan agama yang menciptakan manusia. Agama
adalah kesadaran diri dan harga diri manusia yang belum menemukan diri atau
sudah kehilangan diri sendiri.
BAB IV
SKEPTISISME OTENTITAS HADITS:
KRITIK ORIENTALIS IGNAZ GOLDZIHER
Ignaz
Goldziher adalah seorang orientalis Hongaria yang dilahirkan di
Szekesfehervear, Hongaria. Dia termasuk turunan dari keluarga yahudi. Beliau
meninggal dunia pada tanggal 13 Nopember 1921. Goldziher menguntip apa yang
dikatakan Ibn Shihab al Zuhri “inna haulani al umara akrahumma ‘ala kitab
ahadits”, sesungguhnya para pejabat telah memaksa kami untuk menulis
hadits. Kata ahadits dan kutipan Goldziher tidak memakai “al” dalam
bahasa Arab menunnjukkan sesuatu yang sudah difinitif/ma’rifah.
Keraguan
Goldziher tentang keabsahan dan otenstitas Hadits bukan saja ketika ia
mengemukakan makna hadits dan sunnah yang kemudian mendapat revisi dan
kedudukan dalam Islam. Ia melihat faktor lain tentang kondisi mayarakat Islam
abad pertama Hijriyah dimana hadits saat itu mulai memasuki perkembangan awal.
Ketika membahas perkembangan hadits pada masa Umayyah dan Abbasiyah, atau lebih
umumnya abad pertama Hijriyyah, Goldziher menggambarkannya sebagai kondisi
masyarakat yang belum memiliki kemampuan cukup untuk memahami dogma-dogma
keagamaan, memelihara situs-situs keagamaan dan mengembangkan doktrin agama
yang komplek.
BAB V
TELAAH SOSIO-KULTURAL: MANHAJ AHLUL MADINAH
Dalam
buku ini dikatakan bahwa Hukum Islam dianggap sebagai hukum yang sakral oleh
orang-orang Islam, yang mencakup tugas-tugas agama yang datang dari Allah dan
diwajibkan terhadap semua orang Islam dan semua aspek kehidupan mereka.
Pemikiran hukum Islam tentunya harus dibedakan dengan hukum Islam itu sendiri.
Hukum Islam adalah syari’at dan pemikiran hukum Islam sama dengan fiqh. Yang
dimaksud dengan syari’at itu adalah keseluruhan ajaran agama (ad-Diin)
yang disyari’atkan Allah kepada kaum muslimin baik dengan al-Qur’an atau dengan
Hadits, atau semua yang datang dari Allah untuk hamba-Nya yang dibawa oleh
Nabi-Nabi yang berupa hukum-hukum baikberkenaan dengan cara beri’tikad, maka
syari’at bisa disebut juga ad-Diin atau millah.
Manhaj
ahlul Madinah lahir dalam kondisi yang memberikan iklim kesejukan di dalam
memahami hukum Allah. Hukum yang diterbitkan ahlul Madinah banyak berpijak
bagaimana teks Allah itu berbicara. Pada dasarnya fiqh ahlul Madinah adalah
fiqh yang berada dalam masa shahabat dimana disitu ada al-shahabat al-sab’ah,
mereka adalah Sa’id bin Musayyab, Urwah bin Zubair, Abu Bakar bin Abdurrahman,
Ubaidillah bin Abdullah, Khorijiah bin Zaid, Al-Qosim bin Muhammad, Sulaiman
bin Yusuf.
Pembagian
ke dalam dua golongan ini Madinah dan Iraq berakar pada masa sahabat. Di masa
itu sumber hukum fiqh secara urut adalah Al-Qur’an, sunnah Nabi Muhammad SAW
dan ra’yu. Golongan ahlul-hadits kurang menggunakan ra’yu karena khawatir
keliru dalam berijtihad tentang agama. Pada akhirnya ahlul Ra’yi sering disebut
atau dikenal dengan dengan sebutan Madrasah ra’yu atau Madrasah al-kufah
yaitu sekelompok ulama’ yang tinggal di Kufah yang lebih banyak menggunakan
ra’yu dibandingkan dengan Madrasah Madinah. Slain itu ahlul hadits mempunyai
keutamaan dalam memegang hadits dan mengumpulkannya, namun menjadi sebab yang
tidak langsung bagi timbulnya hadits-hadits palsu. Madzhab-madzhab yang dikenal
sebagai ahlul hadits adalah madzhab asy-Safi’i, madzhab Hambali dan madzhab
Maliki.
BAB VI
POSTMODERNISME: REALITAS FILSAFAT KONTEMPORER
Gerakan
postmodernisme telah merambah ke berbagai bidang kehidupan, termasuk seni,
ilmu, filsafat, dan pendidikan. Arus postmodernisme, yang merupakan respon
keras atas modernisme, selama dua tiga dekade belakangan begitu hebat mewarnai
dan memengaruhi diskursus intelektual di negeri ini.
Postmodernisme
oleh J. F. Lyotard dalam bukunya La Condition Postmoderne (1979), diartikan
secara sederhana sebagai “incredulity towords metanarratives” (ketidak
percayaan terhadap matanarasi). Matanarasi yang dimaksud, misalnya: kebebasan
kemajuan, emansipasi kaum proleter, dan sebagainya. Lyotard adalah filsof yang
memperkenalkan istilah postmodernisme ke dalam bidang filsafat. Bagi dia,
postmodernisme itu sepertinya adalah sebuah “intensifikasi dinamisme”, upaya
tak henti-hentinya untuk mencari kebaruan, eksperimentasi, dan revolusi
kehidupan terus. Dengan kata lain, dalam bidang filsafat postmodernisme
diartikan sebagai “segala bentuk refleksi kritis atas paradigma-paradigma
modern dan atas metafisika pada umumnya”.
Konsep
posmo pertama kali muncul di lingkungan gerakan arsitektur. Arsitektur modern
berorientasi pada fungsi struktur, sedangkan arsitektur posmo berupaya
menampilkan makna simbiotik dari konstruksi dan ruang. Sejumlah ahli
mendeskripsikan posmo sebagai menolak rasionalitas yang digunakan oleh para
fungsionalis, rasionalis, interpretif dan tori kritis. Posmo bukan menolak
rasionalitas tetapi tidak membatasi pada standar termasuk yang divergen, horizontal,
dan heterarkhik tetapi lebih menekankan pada pencarian rasionalitas aktif
kreatif. Tata fikir spesifik posmo adalah kontradiksi, kontroversi, paradoks,
dan dilematik. Posmo lebih melihat realitas sebagai problematic, sebagai yang
selalu perlu di-inquired, yang selalu perlu di-incovered, sebagai
yang kontroversial.
Maka
dari itu, geliat postmodernisme yang lebih dikenal posmo menjadi trend filsafat
saat ini yang masih sering didiskusikan oleh semua kalangan. Ini menandakan
bahwa posmo tak habisnya bagai garam di laut yang tak habis dan bagai samudra
yang tak berujung. Posmo boleh dikatakan sebagai filsafat kontemporer yang
masih trend sampai saat ini.
BAB VII
POTRET METODE DAN CORAK TAFSIR AL-AZHAR
Agama
memang sangat membutuhkan tafsir untuk memudahkan umatnya memahami makna pesan
Tuhan dalam kitab sucinya. Pemahaman tafsir itu pulalah yang akhirnya harus
membuka kajian konseptual dan historis. Secara konseptual, agama dapat
dikatakan sebagai “komunitas tafsir”, sehingga kajian terhadap agama itu pada
dasarnya adalah penafsiran terhadap tafsir.
Dalam
buku ini dituliskan bahwa metode dan corak tafsir al-azhar itu di terdiri dari
metode analitas (Tahlili) dan corak kombinasi al-adabi al-ijtima’i-sufi, dalam
metode analitas (Tahlili) Hamka memakai metode tahlili (analisis)
bergaya khas tertib mushaf. Yang dimaksud metode analitis ialah menafsirkan
ayat-ayat al-Quran dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam
ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup
didalamnya. Dalam metode ini biasanya mufassir menguraikan makna yang dikandung
al-Quran ayat demi ayat dan surat demi surat sesuai dengan urutannya didalam
mushaf. Dan corak yang dikedepankan oleh Hamka dalam Al-azhar adalah kombinasi al-Adabi
al-Ijtima’i-sufi. Corak tafsir al-Adabi al-Ijtima’i (sosial
kemasyarakatan) adalah suatu cabang dari tafsir yang muncul pada masa moderen
ini, yaitu corak tafsir yang berusaha memahami nash-nash al-Qur’an dengan cara
pertama dan utama mengemukakan ungkapan-ungkapan al-Qur’an secara teliti.
Hamka
adalah seorang pemikir muslim progresif dan tokoh Muhammadiyah yang rela korban
dalam memperjuangkan Islam hingga dia dipenjara. Namun masuknya di ke penjara bukan menjadi
hambatan dalam berkarya, justru di dalam sel kala itu ia menyelesaikan
penulisan Tafsir al-Azhar. Tafsir Al-Azhar adalah salah satu tafsir
karya warga Indonesia yang dirujuk atau dianut dari Tafsir Al-Munar karya
Muhammad Abdu dan Rasyid Ridla.
BAB VIII
DISKURSUS METODE HERMENEUTIKA AL-QUR’AN
Guna
memahami Islam secara exhaustive (menyeluruh) persoalan
historis-sosiologis dan semiotis-kebahasan seharusnya memperoleh perhatian
lebih dahulu sebelum memusatkan diri pada kajian teologis. Akibat minimumnya
analisis historis-sosiologis-hermeneutis terhadap Islam, maka al-Qur’an bisa
tereduksi ataupun terputus dari konteks dan relevansi historisnya, sehingga
studi keislaman kemudian hadir dalam paket-paket produk ulama abad pertengahan
yang disintegratik dan cenderung dianggap to be (final) yang akhirnya
melahirkan apa yang dinamakan taqdisul afkar al-dini (pensakralan
produk-produk pemikiran keagamaan). Kecenderungan umat Islam pada saat ini
lebih suka mengkonsumsi al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari secara langsung
ketimbang memandangnya terlebih dahulu dengan metode studi ilmiah kontemporer. Oleh
sebab itulah, al-Qur’an yang dianggap sebagai kitab suci – dimana ketika dibaca
mendapatkan pahala dan dijaga otentitasnya – tidak hanya berhenti dipahami
disitu. Akan tetapi harus dicari bagaimana kandungan meknanya, yang salah satu
metode pemahaman itu menggunakan hermeneutika.
Terminologi
hermeneutika memang seringkali terdengar di telinga kita sebagai salah satu
paradigma keilmuwan yang terkait dengan penafsiran teks-teks kitab suci. Hermeneutika
terkadang dikenal sebagai bentuk metode filsafat kontemporer yang mencoba
menguak makna sesuatu teks. Secara etimologis kata hermeneutiaka berasal dari
bahasa Yunani hermeneue yang dalam bahasa Inggrisnya menjadi hermeneutics
(to interpret) yang berarti menafsirkan, menjelaskan dan
menginterpretasikan atau menerjemahkan. Dalam perkembangannya, hermeneutika
mengalami perkembangan dan perubahan-perubahan persepsi dan model pemakaiannya
yang muncul dari keragaman pendefinisian dan pemahaman terhadap hermeneutika.
Dalam laju perkembangannya, hermeneutika mengalami perubahan dalam
memperlakukan sebuah teks. Perkembangan ini merambat sejalan dengan
berkembangnya rasionalisme dan filologi pada Abad Pencerahan. Pada perkembangan
selanjutnya, hermeneutika tidak cukup hanya dipersepsikan sebagai hermeneutika
filologi saja, namun lebih juga merupakan satu disiplin pemahaman linguistik. Dalam
perkembangan selanjutnya muncul Wilhelm Dilthey, beranggapan bahwa hermeneutika
sebenarnya layak untuk dipertimbangkan sebagai landasan epistimologi bagi
ilmu-ilmu kultural (humaniora), dan tidak sekedar pemahaman atau penafsiran
teks. Tetapi berbeda lagi dengan Heidegger, beliau berpendapat bahwa
hemeneutika bukan sekedar berarti metode filologi ataupun geisteswissenschaft,
akan tetapi merupakan ciri hakiki manusia. Hermeneutika adalah ciri khas yang
sebenarnya dari manusia. Memahami dan menafsirkan adalah bentuk paling mendasar
dari keberadaan manusia. Hermeneutika sendiri bertujuan untuk menghilangkan
mistri yang terdapat dalam sebuah simbol dengan cara membuka selubung-selubung
yang menutupinya.
Mengenal
istilah hermeneutika dalam konteks al-Qur’an memang sering kali dinilai rancu.
Ini disebabkan hermeneutika muncul tradisi Barat yang banyak dihasilkan oelh
orang-orang non-Islam. Orang dengan mudah memahami hermeneutika sama seperti
ilmu tafsir yang bersifat filosofis dan mencoba membeberkan makna detail.
Begitu pula ketika memperbincangkan tafsir, tentu saja yang diasumsikan adalah
satu variabel agama yang dekat yakni kitab suci (dalam Islam adalah al-Qur’an),
maka dari itu seringkali orang menyederhanakan tafsir dengan nama hermeneutika.
BAB IX
JAWA DAN TRADISI ISLAM
PENAFSIRAN HISTORIOGRAFI JAWA MARK R WOODWARD
Mark
R. Woodward adalah seorang Profesor Islam dan Agama-Agama asia Tenggara di
Arizona State University merupakan sosok yang sangat tegas menyatakan bahwa Islam
Jawa adalah Islam, ia bukan Hindhu atau Hindu-Budha, sebagaimana dituduhkan
oeleh Geertz dan sejarawan-antropolog lainnya. Clifford Greetz membagi Islam
Jawa menjadi tiga varian keagamaan, yaitu abangan, santri, dan priyayi.
Bagi
Mark R. Woodward, Islam Jawa adalah unik, bukan karena ia mempertahankan
aspek-aspek budaya dan agama pra Islam, tetapi karena konsep sufi mengenai
kewalian, jalan mistik dan kesempurnaan manusia diterapkan dalam formulasi
suatu kultus keraton. Beliau juga mengungkapkan tentang kondisi masyarakat Jawa
dan Tradisi Islam dengan menggunakan data teks Jawa dan etnografis.
Secara
historis sesungguhnya terdapat kesulitan untuk memastikan tentang kehadiran
Islam pertama kali di Jawa. Akan tetapi adanya catatan pada nisan kubur Fatimah
binti Maimun di Laren yang bertahun 1082 M secara umum dijadikan sebagai bukti
yang kongkrit bagi kedatangan agama Islam di Jawa. Kedatangan Islam, sebagai
suatu sistem nilai, jelaslah hal yang baru ketika itu. Sebelum itu, masyarakat
Jawa (Nusantara) menganut agama Hindu dan Budha, disamping nilai-nilai budaya asli.
Sesuai dengan kondisi lingkungan dan struktur sosialnya, ajaran Islam itu lebih
cepat tumbuh dan terintegrasi di masyarakat pesisiran.
Mark
R. Woodward sangat kritis terhadap karya Greetz yang mencari titik temu antara
agama (Islam) dengan kultur (Jawa) menyimpan kekhawatiran laten akan
berkurangnya otentisitas dan kemurnian ajaran agama itu. Selain itu terdapat
masalah lain yang perlu mencari jalan keluar, bagaimana bisa membangun suatu praktik
keagamaan yang terbuka, egaliterian, namun tidak mengorbankan otentitas suatu
agama.
BAB X
REINTERPRETASI
PROVIL PERADABAN ISLAM
Peradaban
dan perubahan merupakan dua peristiwa yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain
karena manusia merupakan pelaku utama
kegiatan untuk membangun peradaban itu. Apakah perubahan yang terjadi
memberikan pengaruh tertentu pada pola pikir dan perilaku manusia? Sedangkan
peradaban moodern yang ada saat ini identik dengan iklim politik dominasi,
kemajuan dan lompatan ilmu pngetahuan, ketergantungan teknologi serta
penyebaran sumber ekonomi melalui imperialisme, eksplorasi, dan eksploitasi.
Secara etimologis kata peradaban adalah terjemahan
dari kata Arab al-Hadlarah atau al-Madaniyah, dan civilazation
dalam bahasa Inggris. Secara terminologis, minoritas sejarawan yang
mengungkapkan aspek-aspek persamaan dan pengertian kebudayaan dan peradaban.
Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan paling tidak mempunyai tiga wujud:
1.
Wujud ideal,
yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks ide-ide, gagasan, nilai-nilai,
norma-norma, peraturan dan sebagainya;
2.
Wujud kelakuan,
yaitu kebudayaan sebagai suatu kompleks aktifitas kelakuan berpola dari manusia
dan masyarakat; dan
3.
Wujud benda,
yaitu wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya cipta manusia
masyarakat.
Sedangkan
peradaban adalah bentuk kebudayaan yang paling ideal dan puncak, sehingga
menunjukkan keadaban (madaniyah), kemajuan (taqaddum) dan
kemakmuran (‘umran) suatu masyarakat. Peradaban itu sendiri bersifat
abstrak seprti sains murni, maka peradaban adalah hasil penerapannya seperti
teknologi dan produk-produknya.
Sedangkan
kebudayaan (culture) adalah usaha atau ekspresi manusia untuk
mengembangkan rasa, cipta dan karsanya. Jadi makna kebudayaan itu lebih luas
dari peradaban, karena makna “kemajuan dan perkembangan” pada kbudayaan
sifatnya mendasar sedangkan peradaban merupakan perkembangan dan kemajuan yang
lebih lanjut dari kebudayaan itu sendiri.
Secara
harfiyah Islam berasal dari bahasa Arab Salama-Yusalimu-Salamatan yang
berarti selamat atau damai. Jadi secara umum dapat ddikatakan bahwa Islam
adalah agama yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW untuk membawa umatnya
kepada kedamaian dan keselamatan. Jadi, istilah peradaban Islam disini adalah
peradaban umat Islam yang lahir dari motivasi keagamaan dan diwujudkan dalam
berbagai bentuk. Sementara landasan “kebudayaan Islam” adalah agama.
Seluk
beluk peradaban Islam itu ketika masyarakat Islam tidak dalam posisi merjinal
dan punya rasa percaya diri yang tinggi, maka mereka akan mampu menampilkan
wajah Islam yang terbuka, progresif, kosmopolit, dan karakter liberal. Paling
tidak peradaban Islam terbentuk dari empat bagian pokok, yaitu Sumben ekonomi,
Tatanan politik, Tradisi moral, Khazanah ilmu seni.
Pusat
peradaban Islam itu berada di Bagdad (Irak), Kairo (Mesir), Ishafan (Persia),
dan Istambul (Turki). Menengok pusat peradaban Islam pembangunan kota Baghdad
sangat erat kaitannya dengan berdirinya Dinasti Bani Abbas pada tahun 750 M.
Setelah mengalahkan dan menghancurkan Dinasti Umayyah yang berkedudukan di
Damaskus.
Strategi
kebudayaan dan peradaban Islam, tesis Samuel P Huntington tentang the clas
of civilization dapat dijadikan langkah awal dalam melihat posisi peradaban
Islam di tengah konstalasi peradaban global. Huntington menyebutkan didunia ini
terdapat tiga poros peradaban besar: Barat, Cina, Islam. Meskipun tesis
Huntington menyebutkan tiga poros peradaban yang menjadi mainstrem di abad
modern saat ini, namun ada dua kutub yang seringkali dipertentangkan secara diametral
yaitu peradaban Barat versus peradaban Islam.
Kelebihan
buku:
1.
Judul buku
sangat menarik.
2.
Isi yaang ada
didalamnya sudah sesuai dengan topik.
3.
Menjelaskan Studi
Islam Kontemporer secara jelas.
Kelemahan
buku:
1.
Banyak menggunakan
kata ilmiah yang belum bisa dimengerti oleh pembaca.
2.
Dalam pengetikan
masih ada kesalahn.
