Dinsdag 23 April 2013

BERBAGAI PENDEKATAN KONTEKS STUDI ISLAM

 BAB I

PENDAHULUAN
1.1.       Latar Belakang
Dwasa ini, untuk membangun pandangan-pandangan Islam, diperlukan pengembangan kemampuan personal. Dalam pandangan tersebut, pengembangan kemampuan personal merupakan persiapan yang bermanfaat untuk meneliti pemahaman terkait suatu pendidikan, khususnya mengenai pendidikan Islam (studi Islam). Terdapat suatu upaya dan tenaga untuk mengembangkan Islam seperti sekarang ini. Namun tak menutup kemungkinan upaya-upaya tersebut haruslah berlaku hingga sekarang. Sebab permasalahan-permasalahan dan berbagai cara pandang mengenai Islam semakin hari semakin kompleks. Butuh adanya jalan tengah yang bisa menyelesaikan permasalahan-permasalahan tersebut.
Salah satu jalan tengah dari permasalahan permasalahan adalah melalui pendekatan-pendekatan. Pendekatan-pendekatan tersebut, diharapkan dapat menjawab atas semua permasalahan yang terjadi.
Pendekatan-pendekatan yang digunakan, antara lain pendekatan teologis, yuridis, psikologis, historis, antropologis, sosiologis, filosofis, dan fenomenologis. Untuk lebih jelasnya, pendekatan-pendekatan tersebut akan dijabarkan dalam bab selanjutnya.
1.2.       Rumusan Masalah
1.    Pendekatan apa sajakah yang digunakan dalam konteks studi Islam?
2.    Bagaimana penjelasan dari masing-masing pendekatan?
1.3.       Tujuan Penulisan Makalah
Untuk menjelaskan pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam konteks studi Islam.


BAB II
PEMBAHASAN
Dalam studi Islam, diperlukan adanya pendekatan-pendekatan yang bertujuan untuk mencari dan memahami Islam dan hal-hal yang terkait didalamnya. Ada beberapa pendekatan yang digunakan dalam studi Islam. Diantaranya yaitu pendekatan teologis, yuridis, psikologis, historis, antropologis, sosiologis, filosofis, dan fenomenologis.
2.1.       PENDEKATAN TEOLOGIS

1.         Pengertian Teologi
Istilah teologi lahir dalam tradisi Kristen. Secara harfiyah, teologi berasal dari bahasa Yunani, theosdan logos yang berarti ilmu ketuhanan. Istilah teologi dalam bahasa Yunani tersebut, dalam tradisi Islam dikenal dengan ilmu kalam yang berarti perkataan-perkataan manusia tentang Allah.Tetapi pengertian ini menurut Steenbrink (1987:10) dianggap kurang cocok karena teologi memang tidak bermaksud membicarakan problematika mengenai ketuhanan, baik wujud, sifat, dan perbuatan-Nya, yang dalam khasanah islam disebut ilmu kalam. Teologi tidak identic dengan ilmu kalam atau ilmu luhut yang oleh Al-Ahwani diartikan sebagai rangkaian argumentasi rasional yang disusun secara sistematik untuk memperkokoh kebenaran akidah agama Islam (Al-Ahwani, 1995:17).A. Hanafi mengartikan ilmu kalam sebagai upaya mempertahankan keyakinan seputar masalah ketuhanan dari serangan-serangan pihak luar dengan menggunakan pendekatan filsafat atau dalili-dalil aqli.
Dalam Encyclopaedia of Religion and Religions, dikatakan bahwa teologi adalah ilmu yang membicarakan tentang tuhan dan hubungan-Nya dengan alam semesta, namun sering kali diperluas mencakup seluruh bidang agama.Dengan demikian, teologi memiliki pengertian luas dan identic dengan ilmu agama itu sendiri.Dalam diskursus ilmiah, istilah teologi biasanya memiliki arti yang khusus.Teologi, kata Pidekso, sebagai upaya seluruh orang beriman dalam menangkap, memahami serta memberlakukan kehendaktuhan melalui konteksnya (Ambednego, 1994:15).Teologi adalah refleksi orang yang beriman tentang bagaimana bentuk atau nilai-nilai kualitas iman yang dimilikinya. Kata Anselmus, teologi adalah fides quaren intellectum, iman yang mencari pengertian (Amin, 1988: ix).
Teologi juga dapat dilihat dari tiga segi: teologi actual yaitu berteologi yang melahirkan keprihatinan iman dalam wujud tingkah laku sehari-hari; teologi intelektual, yaitu teologi yang melahirkan pemikiran keagamaan berjilid-jilid yang hanya dipahami oleh para alim dibidang ini dan teologi spiritual yang melahirkan perilaku mistik.[1]
2.    Teologi sebagai Metode Studi Islam
Pendekatan teologi dalam studi agama adalah pendekatan iman untuk merumuskan kehendak Tuhan berupa wahyu yang disampaikan kepada para nabinya agar kehendak tuhan itu dapat dipahami secara dinamis dalam konteks ruang dan waktu.Karena itu, pendekatan teologis dalam studi agama disebut juga pedekatan normative dari ilmu-ilmu agama itu sendiri. Secara umum, metode teologis/normatifdalam studi agama bertujuan untuk mencari pembenaran  dari suatu ajaran agama atau dalam rangka menemukan pemahaman/pemikiran keagamaan yang lebih dapat dipertanggung jawabkan secara normative idealistik.
Dalam Islam, metode teologis, khususnya teologi intelektual, telah melahirkan ilmu-ilmu keagamaan yang mantap, baik objek maupun metodologinya. Ilmu-ilmu keagamaan itu antara lain ilmu tafsir, ilmu hadis, ilmu fikih, ilmu akhlak/tasawuf dan ilmu klam yang masing-masing memiliki cabang atau ilmu bantunya. Ilmu tafsir misalnya memiliki ilmu bantu seperti ulun Al-Qur’an, asbab al-nuzul dan balaghah. Walaupun ilmu-ilmu keagamaan berdiri sendiri, tetapi tetap memerlukan satu kesatuan yaitu dalam rangka menangkap dan menjelaskan kehendak tuhan.[2]
3.    Hubungan antara Teologi dan Studi-Studi Keagamaan
Ada tiga konsekuensi terhadap teologi dan studi-studi keagamaan:
a.         Jelas bahwa teologi Kristen dengan sendirinya tidak dapat menjadi satu-satunya kunci bagi “rethinking” ini. Teologi-teologi lain Muslim, Yahudi, Hindu, Budha, dan Konghucu masing-masing memiliki peranya sendiri. Demikian pula, studi-studi keagamaan memainkan peran signifikan karena perannya secara inheren lebih luas dibandingkan peran teologi Kristen, dan pencarian atas teologi global muncul baik dalam lingkungan studi-studi keagamaan maupun dalam teologis.
b.        Studi-studi keagamaantelah meiliki tempat dalam dua model diantara model-model yang telah dipaparkan diatas. Oleh karena itu, terjadi perdebatan yang terus menerus tentang apakah ia harus ditempatkan dalam departemen teologi atau departemen humanitas (departemen ilmu social). Lebih dari kebanyakan wilayah studi lainnya, studi keagamaan mencakup beragam metode dan pendekatan dan olehkarena itu, bagaimanapun juga ia memiliki pengaruh yang luas terhadap pengetahuan. Teologi tampaknya juga perlu memperluas focus intelektualnya pada wilayah pengetahuan yang lebih luas dan membantu proses “rethinking” sekalipun kerangka kerja tradisinya bersifat partikular yang menjadikannya lebih rumit daripada studi-studi keagamaan.
c.         Studi keagamaan dan teologi menyadari bahwa keduanya memiliki tugas yang penting dalam ketiga proses pengetahuan dan ketiga model pengetahuan yang di kemukakan di atas, tidak semata dalam segmennya sendiri. Dalam banyak lingkaran, perlahan mulai tumbuh kesadaran mengenai komplementaritas antara teologi dan studi-studi keagamaan dalam agama dunia global.[3]
4.         Teologi Agama-Agama (Theology of Religions)
Bagi umat Hindu semenjak era klasik, konsep-konsep kunci tertentu telah menjadi parameter bagi way of life Hindu. Konsep itu berpusat pada gagasan tentang Brahmana sebagai realitas ultimate di balik alam, Atman sebagai diri inner dalam manusia, nasib manusia sebagai lingkaran kelahiran kembali yang terus-menerus, penyelamatan sebagai pelapisan diri dari kelahiran kembali, cara-cara penyadaran inner (jnana), ketaatan (bhakti), dan terlibat aktif di dunia (di bawah kuasa Tuhan) sebagai jalan penyelamatan, dan peran berbagai dewa personal seperti Shiwa, Wisnu, Dewi, dan dua inkarnasi dasar dari Wisnu (avataras) yakni Rama dan Khrisna. Dalam kaitan dengan tradisi Budhis menolak gagasan tentang ketuhanan (dalam pengertian Brahmana), dan bahkan (real self) diri yang sesungguhnya (dalam pengertian Atman) dan menggunakan kata seperti “transendentologi” sebagai ganti teologi untuk mengakomodasi gagasan-gagasan Budhis tentang Nirwana dan Dharma yang memiliki nuansa transendensi.
Dalam menganalisis teologi-teologi agama (theology of religion), sarjana agama akan menemui sejumlah perbedaan teologis dalam tradisi-tradisi keagamaan. Perubahan itu bias jadi merupakan perbedaan subtansi atau perbedaan cara kerja teologi (ways of doing theology). Perbedaan yang terdapat dalam tradisi itu dapat bertepatan dengan perbedaan-perbedaan lintas tradisi atau justru tidak bersesuaian.
Terdapat beragam tipe teologi dalam masing-masing tradisi. Secara mendasar terdapat empat macam tipe:
1.    Tipe teologi deskriptif, historis, positivistic yang disukai para sejarahwan dalam setiap tradisi yang berusaha mendeskripsikan apa yang fungsional secara doctrinal tanpa mengabaikan pertimbangan lain. Tipe ini merupakan tipe yang terdekat dengan teologi fenomenologis, dan lebih memfokuskan pada deskripsi daripada pengakuan siman.
2.    Tipe teologi sistematik yang berusaha meringkas doktrin-doktrin dari komunitas beriman dalam suatu pengertian pengakuan (confessional). Dalam hal ini, tidak ada upaya agar menjadi bebas nilai, tetapi dimaksudkan untuk mengkonstruksi posisi-posisi doctrinal dan persasian keimanan dengan suatu cara yang akan meningkatkan tradisi itu. Seluruh tradisi keagamaan memiliki tipe tipologi ini.
3.    Tipe teologi filosofis yang berusaha terlibat dengan posisi-posisi lain pada tingkat filosofis, dengan membawa dan memberikan reaksi kepadanya secara serius. Salah satu tujuannya mungkin tetap apologetik yakni mempertahankan dan menonjolkan posisinya sendiri dengan argument yang ternalar.
4.    Terdapat apa yang secara lebih luas disebut dengan teologi dialog. Waktu-waktu terakhir , tipe ini lebih lazim namun bukan berarti di masa lalu tidak ada. Tipe ini mengandung keinginan secara sengaja untuk memahami tradisi-tradisi lain demi kepentingannya sendiri, bukan semata-mata karena alasan apologetik. [4]
5.    Teologi Agama-Agama Global: Ke Arah Etika Global
Pada tanggal 4 September 1993, dalam suatu pertemuan yang menandai seratus tahun Chicago world parliament of religion 1893, diluncurkan suatu deklarasi kearah suatu etika global.Meskipun panjang, hal ini patut dikutip secara sempurna.
Kami Menyatakan:
Kita saling bergantung.Masing-masing kita bergantung pada kesejahteraan keseluruhan dan oleh karenanya, kita menghargai komunitas segala yang hidup; manusia, binatang, tumbuhan, pelestarian bumi, udara, air, dan minyak.
Kita memilki pertanggung jawaban individual atas segala yang kita lakukan.Seluruh keputusan, perbuatan, dan kegagalan kita dalam bertindak memilki konsekuensi.
Kita harus memperlakukan pihak lain sebagaimana kita ingin diperlakukan oleh mereka.
Kita membuat suatu komitmen untuk menghormati kehidupan dan harkat, individualitas dan diversitas sehingga setiap orang diperlakukan secara manusiawi, tanpa terkecuali.Kita harus memilki kesabaran dan sikap menerima.Kita harus dapat memaafkan, belajar dari masa lampau namun tidak pernah membiarkan dirikita diperbudak oleh memori kebencian. Membuka hati untuk orang lain.
Kita mempertimbangkan keluarga kita.Kita harus berusaha keras untuk menjadi baik dan murah hati. Kita hidup harus tidak untuk  diri kita sendiri tetapi juga mesti untuk orang lain, tidak pernah melupakan anak-anak, orang lanjut usia, orang miskin, orang yang menderita, cacat, pengungsi, dan orang-orang yang sebatang kara.
Kita commit pada suatu kebudayaan tanpa kekerasan, penuh penghargaan, keadilan, dan kedamaian. Kita tidak akan menindas, melukai, menganiaya, atau membunuh manusia lain, meninggalkan kekerasan sebagai cara menyelesaikan perbedaan.
Kita harus berusaha keras mewujudkan aturan social dan ekonomis yang adil di mana setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai potensi yang sempurna sebagai seorang manusia. Kita harus berbicara dan berbuat dengan segala kesungguhan dan dengan rasa keharuan, berlaku jujur terhadap semua orang dan menghindari prasangka dan kebencian.
Kami menyeru seluruh manusia, entah yang religious maupun tidak, untuk melakukan hal yang sama.
Tujuan pendekata teologi ini adalah memahami agama, memahami system-sistem konseptual agama di dalam dan antar agama, termasuk etika-etika agama.[5]
2.2.       Pendekatan Yuridis
Yuridis adalah hukum, jadi yamg dmaksud dengan pendekatan yuridis adalah pemahaman agama islam secara hukum menurut islam. Hukum yang dpakai umat islam adalah berdasarkan AL-QUR’AN dan WAHYU yang diturunkan ALLAH kepada para NABI. Islam mengajarkan manusia untuk `mentaati peraturan, sedangkan peraturan merupakan hukum itu sendiri. Dalam pelaksanaannya manusia kurang menyadari bahwa pendekatan yuridis sudah dialami oleh para Nabi. Islam adalah agama. Perkembangan yuridis itu sendiri prosesnya dapat dibagi menjadi 4 periode:
1.        Periode Nabi
2.        Periode Sahabat
3.        Periode Ijtihad dan kemajuannya
4.        Periode Taklid dan kemundurannya
1.        Periode Nabi
Segala persoalan dikembalikan kepada Nabi untuk menyelesaikan setiap masalah yang ada, karena Nabi merupakan sumber hokum. Secara tekstual pembuat hokum adalah Nabi, tetapi secara kontesktual pembuat hokum adalah Allah, karena hokum yang dikeluarkan Nabi bersumber pada wahyu dari Allah. Nabi sebenarnya bertugas menyampaikan dan melaksanakan hokum yang ditentukan oleh Allah. Sumber hokum yang ditinggalkan Nabi untuk umatnya setelah zamanya adalah Al-Qur’an dan Sunnah.
2.        Periode Sahabat
Pada zaman para sahabat daerah yang dikuasai islam semakin luas. Daerah-daerah yang diluar Semenanjung Arabia telah mempunyai kebudayaan yang lebih maju dan susunan masyarakat yang modern dibandingkan dengan masyarakat Arabia ketika itu. Jadi persoalan-persoalan yang dihadapi pada periode sahabat kepada masyarakat yang berada di daerah baruitu lebih sulit penyelesainnya dibandigkan dengan persoalan yang dihadapi masyarakat Arabia itu sendiri.
Untuk mencari penyelesaiannya para sahabat kembali kepada Al-Qur’an sunnah yang ditinggalkan Nabi. Al-Qur’an sendiri pada masa sahabat dihafal sedangkan sunnah tidak dihafal oleh semua sahabat, setelah Al-Qur’an dihafal oleh semua sahabat maka pada masa kholifah Abu Bakar Al-Qur’an dibukukan sedangkan sunnah (hadits) tidak dibukukan karena para sahabat lebih condong kepada Al-Qur’an.
Pada masa sahabat mempunyai masalah yang tidak bisa dselesaikan karena mereka sudah mencari didalam al-qur’an dan hadits tidak bias menyelesaikan masalah tersebut, maka mereka berijtihat untuk menyelesaikan masalah. Tetapi turunya wahyu Cuma pada periode Nabi maka para sahabat melakukan ijma’ atau konsesus sahabat. Maksudnya ijma’ yaitu kholifah tidak memutuskan masalah hokum dengan sendiri tetapi bertanya lebih dahulu kepada para sahabat yang lainnya.
Sumber hokum yang ditinggalkan para sahabat adalah Al-Qur’an, Sunnah Nabi dan Sunnah sahabat.
3.        Periode Ijtihad
Pada periode ini islam mengalami kejayaan yang terjadi pada tahun 700-1000 Masehi. Periode ini juga disebut periode pengumpulan hadist, ijtihad atau fatwa sahabat dan tabi’in (generasi setelah sahabat). Sesuai dengan bertambah luasnya daerah islam, berbagai macam bangsa masuk islam dengan membawa berbagai macam adat-istiadat, tradisi dan system kemasyarakatan. Problematika hokum yang dihadapi beragam. Untuk mengatasi para ulam-ulama banyak mengadakan ijtihad. Ijtihad mereka berdasarkan al-qur’an, sunnah nabi, sunnah sahabat. Maka timbullah ahli-ahli hokum mujtahid  yang disebut imam atau faqih (fuqaha’) dalam islam.
Maka kita saat ini mengenal dengan nama mahzah yang dimana kita ketahui ada 4 mahzab yaitu :mahzab Hanafi, mahzab Maliki, mahzab Syafi’I dan mahzab Hambali.
4.        Periode Tklid
Periode taklid tejadi pada abad ke-4 Hijriah (abad ke-11 Masehi) bersamaan dengan kemunduran islam dalan sejarahnya. Masyarakat sudah tidak tetuju pada sumber-sumber hokum yang telah ada sebelum periodenya, tetapi mereka lebih tetu hanya untuk mempertahankan hokum menurut mahzabnya masing-masing setiap individu atau kelompok. Ulama-ulama caliber besar yang sederajat dengan Abu Hanafiah, Maliki, Syafi’I dan Ibnu Hambal sudah tiadak ada lagi dan ijtihad yang dijalankan para ul;ama belum mencapai derajat yang mujtahid, maka mereka hanya membawa kekacauan dalam bidang hokum dan dalam masyarakat.
2.3.       Pendekatan Psikologis
Psikologi atau Ilmu Jiwa adalah ilmu yang mempelajari jiwa seseorang melalui gejala perilaku yang dapat diamatinya. Menurut Zakiah Daradjat bahwa perilaku seseorang yang nampak jahiriyah terjadi karena dipengaruhi oleh keyakinan yang dianutnya. Seseorang ketika berjumpa saling mengucapkan salam, hormat kepada kedua orang tua, kepada guru, rela berkorban untuk kebenaran dan sebagainya adalah merupakan gejala-gejala keagamaan yang dapat dijelaskan melalui ilmu jiwa agama. Ilmu jiwa agama sebagaimana dikemukakan oleh Zakiah Darajat tidak akan mempersoalkan benar tidaknya suatu agama yang dianut oleh seseorang, melainkan yang dipentingkan adalah bagaiman keyakinan agama tersebut terlihat pengaruhnya dalam perilaku penganutnya.
Dalam ajaran agama banyak kita jumpai istilah-istilah yang menggambarkan sikap batin seseorang. Misalnya sikap beriman dan sikap bertakwa kepada Allah, sebagai orang yang saleh, orang yang berbuat baik, orang yang jujur dan sebagainya. Semua itu adalah gejala-gejala kejiwaan yang berkaitan dengan agama.
Dengan ilmu jiwa seseorang selain akan mengetahui tingkat keagamaan yang dihayati, dipahami dan dan diamalkan seseorang, juga dapat digunakan sebagai alat untuk memasukkan agama ke dalam jiwa seseorang sesuai dengan tingkat usianya. Dengan ilu ini agama akan menemukan cara yang tepat dan cocok untuk menamakannya.
Kita misalnya dapat mengetahui pengaruh dari salat, puasa, zakat, haji dan ibadah lainnya dengan malalui Ilmu Jiwa Dengan mengetahui ini, maka dapat disusun langkah-langkah baru yang lebih efisien lagi dalam menanamkan ajaran agama. Itulah sebabnya ilmu jiwa ini banyak digunakan sebagai alat untuk menjelaskan gejala  atau sikap keagamaan seseorang.
Dari uraian tersebut di atas kita melihat ternyata agama dapat dipahami melalui berbagai pendekatan. Dengan pendekatan itu semua orang akan sampai pada agama. Seorang teolog, sosiolog, antropolog, sejarawan, ahli ilmu jiwa dan budayawan akan sampai paa pemahaman agama yang benar. Disini kita melihat bahwa agama bukan hanya monopoli kalangan teolog dan normatif belaka, melainkan agama dapat dipahami semua orang sesuai dengan pendekatan dan kesanggupan yang dimilikinya. Dari keadaan demikian seseorang akan memiliki kepuasan dari agama, karena seluruh persoalan hidupnya mendapat bimbingan dari agama.
2.4.       Pendekatan Historis
Kata sejarah secara harfiah berasal dari bahasa arab “syajaratun” yang artinya pohon. Dalam bahasa arab sendiri, sejarah disebut dengan tarikh. Adapun kata tarikh dalam bahasa Indonesia artinya kurang lebih adalah waktu atau penanggalan. Kata Sejarah lebih dekat pada bahasa Yunani yaitu historia, yang berarti ilmu atau orang pandai. Kemudian dalam bahasa Inggris menjadi history, yang berarti masa lalu manusia. Kata lain yang mendekati acuan tersebut adalah Geschichte yang berarti sudah terjadi.
Pengertian sejarah secara istilah ilmu yang didalamnya membahas berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, obyek, latar belakang, dan pelaku dari peristiwa tersebut. Menurut ilmu ini segala peristiwa dan dapat dilacak dengan melihat kapan peristiwa itu terjadi, di mana, apa sebabnya, siapa yang terlihat dalam peristiwa tersebut.
Melalui pendekatan sejarah seseorang diajak menukik dari alam idealis ke alam yang bersifat empiris dan mendunia. Dari keadaan ini seseorang akan melihat adanya kesenjangan atau keselarasan antara yang terdapat dalam alam idealis dengan yang ada di alam empiris dan historis.
Pendekatan kesejarahan ini amat dibutuhkan dalam memahami agama, karena agama itu sendiri turun dari situasi yang konkret bahkan berkaitan dengan kondisi sosial kemasyarakatan. Dalam hubungan ini Kuntowijoyo telah melakukan stusi yang mendalam terhadap terhadap agama yang dalam hal ini Islam, menurut pendekatan sejarah. Ketika ia mempelajari al-Qur’an, ia sampai pada suatu kesimpulan bahwa pada dasarnya kandungan al-Qur’an itu terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama, berisi konsep-konsep, dan bagian kedua, berisi kisah-kisah sejarah dan perumpamaan.
Dalam bagian pertama yang berisi konsep-konsep, kata mendapati banyak sekali istilah al-Qur’an yang merujuk kepada pengertian-pengertian normatif yang khusus, doktrin-doktrin etik, aturan-aturan legal dan ajaran-ajaran keagamaan pada umumnya. Istilah-istilah, atau singkatnya pernyataan-pernyataan itu mungkin diangkat dari konsep-konsep yang telah dikenal oleh masyarakat Arab pada waktu al-Qur’an diturunkan atau bisa jadi merupakan istilah-istilah baru yang dibentuk untuk mendukung adanya konsep-konsep religius yang ingin diperkenalkqnnya. Yang jelas, istilah-istilah itu kemudian diintegrasikan ke dalam pandangan dunia al-Quran, dan dengan demikian, menjadi konsep-konsep yang otentik.
Dalam bagian pertama ini, kita mengenal banyak sekali konsep baik yang bersifat abstrak maupun konkret. Konsep tentang Allah,  konsep tentang Malaikat, tentang akhirat, tentang ma’ruf, munkar dan sebagainya adalah konsep-konsep yang abstrak. Sementara itu juga ditunjukkan konsep-konseo yang lebih menunjuk kepada fenomena konkret dan dapat diamati (obsereable), misalnya konsep tentang fuqara (orang-orang fakir), dhu’afa (orang-oran lemah), mustadh’afin (kelas tertindas), zhalimun (para tiran), agniya (orang-orang kaya), mustakbirun (penguasa), mufasidun (koruptor-koruptor) dan sebagainya.
Selanjutnya jika pada bagian yang berisi konsep-konsep, al-Qur’an bermaksut membentuk pemahaman yang komprehensif mengenai nilai-nilai Islam, maka pada bagian kedua yang berisi kisah-kisah dan perumpamaan, al-Qur’an ingin mengajak dilakukannya perenungan untuk memperoleh hikmah. Melalui kontemplasi terhadap kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa historis, dan juga melalui metafor-metafor yang berisi hikmah tersembunyi, manusia diajak merenungkan hakikat dan maka kehidupan. Banyak sekali ayat yang berisi ajakan semacam ini, tersirat maupun tersurat, baik menyangkut hkmat historis ataupun menyangkut simbol-simbol. Misalnya simbol tentang rapuhnya rumah laba-laba, tentang keganasan samudera yang menyebabkan orang-orang kafir berdoa.
Melalui pendekatan sejarah ini seseorang diajak untuk memasuki keadaan yang sebenarnya berkenaan dengan penerapan suatu peristiwa. Dari sini, maka seseorang tidak akan memahami agam keluar dari konteks historisnya. Seseorang ingin memahami al-Qur’an secara benar misalnya, yang bersangkutan harus mempelajari sejarah turunnya al-Qur’an atau kejadian-kejadian yang emngiringi urunnya al-Qur’an yang selanjutnya disebut sebagai Ilmu Asbab An-nuzul (Ilmu tentang Sebab-sebab Turunnya Ayat Al-Qur’an) yang pada intinya berisi sejarah turunnya ayat al-Quran. Dengan Ilmu Asbabunnuzul ini seseorang dapat mengetahui hikmah yang terkandung dalam suatu ayat yang berkenaan dengan hukum tertentu, dan ditujukan untuk memelihara syari’at dari kekeliruan memahaminya.[6]
2.5.       Pendekatan Antropologis
Pendekatan antropologis yaitu suatu upaya untuk memahami agama dengan cara melihat praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam suatu masyarakat. Dengan pendekatan seperti ini agama terasa akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang di hadapi setiap individu maupun kelompok untuk menyelesaikan suatu masalah yang sedang dihadapinya. Jadi cara yang digunakannya dengan disiplin ilmu antropologi untuk memehami agama. Menurut Dawam Rahardjo, dia lebih mengutamakan pengamaqtan langsung yang bersifat partisipasif (menjadi bagian dalam suatu masyarakat). Pendekatan antopologis dengan mengunakan cara penelitian yaitu: penelitian antropologis yang induktif dan grounded maksudnya pendekatan yang turun kelapagan tanpa berpijak pada upaya untuk membebaskan diri dari suatu teori-teori formal yang pada dasarnya sangat abstrak sebagaimana yang dilakukan di bidang sosiologi dan ekonomi yang mempergunakan model –model matematis, dan ini malah memberi banyak sumbagan terhadap penelitian historis.
Melalui pendekatan antropologi sosok agama yang berada pada dataran emprik akan dapat dilihat sertat-seratnya dan latar belakang mengapa ajaran agama dapat dimunculkan dan dirumuskan. Dalam penelitian antropologi agama dapat ditemukan adanya hubungan yang positif antara kepercayaan agama dengan kondisi ekonomi  dan politik suatu masyarakat.jadi kkesimpulan penelitian antropologi, golongan masyarakat yang kurang mampudan golongan masyarakat miskin pada umumnya lebih tertarik pada gerakan keagamaan yang bersifat mesianis sedangkan golongan kaya lebih tertarik (cenderung) untuk mempertahankan tatanan masyarakat yang sudah mapan secara ekonomi lantaran tatanan tersebut menguntungkan pihaknya.[7]

2.6.       Pendekatan Sosiologis
Sosiologis adalah ilmu yang mempelajari kehidupan manusia dalam tata kehidupan bersama. Pusat perhatiannya adalah kehidupan kelompok dan tingkah laku sosial. Sosiologi didefinisikan secara luas sebagai bidang penelitian yang tujuannya meningkatkan pengetahuan melalui pengamatan dasar manusia, kebiasaan-kebiasaan, ritual-ritual, dan pola organisasi serta hukum-hukumnya.
Dari definisi tersebut terlihat bahwa sosiologi adalah suatu ilmu yang menggambarkan tentang keadaan masyarakat lengkap dengan struktur, lapisan, serta berbagai gejala sosial lainnya yang saling berkaitan. Asumsi dasar pendekatan sosiologi terhadap agama adalah bahwa gejala-gejala keagamaan dapat dimengerti dengan menganalisisnya sebagai gejala sosial, sebagai sesuatu yang tercipta dalam hubungan antara manusia, dan karenanya dapat dijelaskan dengan menggunakan terori-teori yang berlaku dalam ilmu sosial. Selanjutnya, sosiologi dapat digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam memahami agama. Hal demikian dapat dimengerti, karena banyak bidang kajian agama yang baru dapat dipahami secara proporsional dan tepat apabila menggunakan jasa bantuan dan ilmu sosiologi.
Jalaluddin Rahman dalam bukunya yang berjudul Islam Alternatif, menunjukkan betapa besarnya perhatian agama yang dalam hal ini Islam terhadap masalah sosial, dengan mengajukan lima alasan sebagai berikut:
Pertama, dalam Al-Qur’an atau kitab-kitab hadits, proporsi terbesar kedua sumber hukum Islam itu berkenaan dengan urusan muamalah. Menurut Ayatullah Khomaeni dalam bukunya Al-Hukumah Al-Islamiyah yang dikutip Jalaluddin Rahman, dikemukakan bahwa perbandingan antara ayat-ayat ibadah dan ayat-ayat yang menyangkut kehidupan sosial adalah satu berbanding seratus – untuk satu ayat ibadah, ada seratus ayat muamalah (masalah sosial).
Kedua, bahwa ditekankannya masalah muamalah (sosial) dalam Islam ialah adanya kenyataan bahwa bila urusan ibadah bersamaan waktunya dengan urusan muamalah yang penting, maka ibadah boleh diperpendek atau ditangguhkan (tentu bukan ditinggalkan), melainkan dengan tetap dikerjakan sebagaimana mestinya.
Ketiga, bahwa ibadah yang mengandung segi kemasyarakan diberi ganjaran lebih besar dari pada ibadah yang bersifat seorangan. Karena itu shalat yang dilakukan secara berjamaah dinilai lebih tinggi nilainya dari pada shalat yang dikerjakan sendirian (munfarid) dengan ukuran satu berbanding dua puluh derajat.
Keempat, dalam Islam terdapat ketentuan bila urusan ibadah dilakukan tidak sempurna atau batal karena melanggar pantangan tertentu maka kifaratnya (tembusannya) adalah melakukan sesuatu yang berhubungan dengan masalah sosial.
Kelima, dalam Islam terdapat ajaran bahwa amal baik dalam bidang kemasyarakatan mendapat ganjaran lebih besar dari pada ibadah sunnah.
Ilmu sosial dapat digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam memahami agama. Hal ini dapat dimengerti karena banyak bidang kajian agama yang baru dipahami secara imporsional dan tepat apabila menggunakan jasa bantuan dari ilmu sosila. Pentingnya pendekatan sosial dalam agama sebagaimana disebutkan diatas, dapat dipahami, karena banyak sekali ajaran agama yang berkaitan dengan masalah sosial. Besarnya perhatian agama terhadap masalah sosial ini selanjutnya mendorong kaum agama memahami ilmu-ilmu sosial sebagai alat untuk memahami agamanya.

Pendekatan sosiologis dibedakan dari pendekatan studi agama lainnya karena fokus
perhatiannya pada interaksi antara agama dan masyarakat. Teori sosiologis tentang watak agama serta kedudukan dan signifikansinya dalam dunia sosial, mendorong ditetapkannya serangkaian kategori-kategori sosiologis, yaitu:
       Stratifikasi sosial, seperti kelas dan etnisitas.
      Kategori biososial, seperti seks, gender, perkawinan, keluarga, masa kanak-kanak, dan usia.  
      Pola organisasi sosial meliputi politik, produksi ekonomis, sistem-sistem pertukaran, dan        birokrasi.
·         Proses sosial, seperti formasi batas, relasi intergroup, interaksi personal, penyimpangan, dan globalisasi.
Pendekatan sosiologis memiliki makna yang sangat penting dalam konteks studi islam. Berbagai dinamika dan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat  memerlukan telaah dan penelitan secara memadai. Dengan bantuan pendekatan sosiologis, dapat diungkap berbagai karakteristik, kekayaan khazanah, dan deskiripsi yang unik dari komunitas muslim di berbagai tempat.


2.7.       Pendekatan Filosofis
Secara harfiah, kata filsafat berasal dari kata philo yang berarti cinta kepada kebenaran ilmu, dan hikmah. Selain itu filsafat dapat pula berarti mencari hakikat tertentu, berusaha menautkan sebab dan akibat serta berusaha menafsirkan pengalaman-pengalaman manusia. Dalam  Kamus Umum Bahasa Indonesia , Poerwadarminta mengartikan filsafat sebagai pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai sebab-sebab, asas-asas, hukum dan sebagainya terhadap segala yang ada dialam semesta ataupun mengenai kebenaran dan arti adannya sesuatu .  Jika kita melihat definisi yang diberikan oleh dua oranng yang mula-mula mencintai kebijakan- Plato dan Aristoteles –kita dapat mulai melihat bagaimana kemungkinan-kemungkinan itu dapat dimengerti. Plato mendiskripsikan filsuf sebagai  orang yang siap merasakan setiap bentuk pengetahuan, senang belajar dan tidak pernah puas. Aristoteles juga memberikan suatu definisi filsafat sebagai “pengetahuan mengenai kebenaran”. Terhadap kedua definisi tersebut kita dapat meambah definisi ketiga yang diberikan oleh Sextus Empiricus, filsafat adalah suatu aktifitas yang melindungi kehidupi yang bahagia melalui diskusi dan argumen.  Maka unsure kunci yang menyusun “cinta pada kebajikan” adalah kemauan menjaga pikiran tetap terbuka, kesediaan membaca secara luas, dan mempertimbangkan selurh wilayah pmikiran dan  memiliki perhatian pada kebenaran . Semua itu adalah bagian dari suatu aktivitas atau proses dimana dialog, diskusi, dan mngemukakan ide dan argumen merupakan intinya. Usur-unsur itu dikemukakan melaui karya-karya Plato. Metoe Plato dalam berfilsafat adalah melalui dialog, berbincang dengan orang lain (biasanya Socrates) atau sekelompok orang. Gagasannya adalah bahwa kkita dapat menggunakan dialog untuk mencari kebenaran sesuatu. Dengan mengemukakan suatu ide dan eorang menanggapinya,dan kemudinmelakukan perubahan dan penambahan ide itu melaui respon yang diberikan dan mendengarkan respon lainnya, kita secara gradual meninngkatkan kebenaran yang sedang kita bicarakan dalam tahapan dan tingnkatan yang gradual. Dialog –dialog Plato jarang mencapai kesimpulan yang pasti, namun ini tidak masalah karena ini justtru memberitahukan kkita hal yang menarik kentang filsafat. Kenyataan ini menunjukan kepada kita bahwa filsafat memilki perhatian untuk memberikan sesuatu  pembahasan  yang rasional ……tentang watang yang dilawaankan dengan pembahasan yang diterima …murni berdasar otoritas atau kenyakinan atau tradisi.
Dengan kata lain, “cinta kepada kebajikan“ ini adalah suatu komitmen, suatu kemauan yang mengikuti  sesuatu argument atau alur pemikiran atau suatu ide sampai pada suatu kesimpulan-kesimpulannya, namun setiap langkah proses itu selalu terbuka untuk ditentangkan selalu terbukan untuk dibuktikan salah. Kesimpulan-kesimpulan yang dicapai bersifat sementara dan tentative.   
Pengertian filsafat yang umum digunakan adalah pendapat yang dikemukakan Sidi Gazalba . Menurutnya filsafat adalah berfikir secara mendalam, sistematik, radikal dan universal dalam rangka mencari kebenaran, inti, hikmah dan hakikat mngenai segala sesuatu yang ada.
Difinisi tersebut dapat diketahui bahwa filsafat pada intinya berupanya menjelaskan inti, hakikat atau hikmah mengenai sesuatu yang berada diballik objek formanya. Filsafat mencari sesuatu yang mendasar, asas dan inti yang terdapat diballik yang bersifat lahiriah.
Dalam pendekatan ini kita memperoleh petunjuk asal-usul datangnya filsafat. Saat ini , filsafat dilihat sebagai disiplin yang melatih orang dalam seni berfikir, apayang kami maksud dengan “ seni berfikir “ adalah emperoleh sekumpulan keahlian yang memungkinkan terjadinya sesuatu bentuk pemikiran tertentu. Bentuk pmikiran ini disebut dengan argumentative atau kritis, pemikiran yang concern dengan pengajuan argument, menguji kelemahannya, membelanya dari keberatan-keberatan, dan mengembangkannya dalam suatu cara yang koheren dan logis. Berfilsafat sama halnya dengan murid-murid diajari menulis esai. Seolah – olah melakukan dialog dengan diri sendiriatau dialog dengan lawan imaginer.
Secara khusus kita dapat mengidentifiksikan empat posisi mengenai hubungan antara filsafat dan agama, sebagaimana muncul dalam suatu sejarah perdebatan. Keempat posisi itu adalah : (1) Filsafat sebagai agama,(2) Filsafat sebagai pelayan agama,(3) Filsafat sebagai yang membuat ruang bagi keimanan dan,(4) Filsafat sebagai perangkat analitis bagi agama. Terhadap posisi itu kita dapat menambahkan , (5) Filsafat sebagia study tentang penalaran yang digunakan dalam pemikkkiran keagamaan.
Posisi pertama, filsafat sebagai agama, di Barat dapat mencakup pemikiran-pemikiran seperti Plato, Plotinus, Porphyry, Spinoza, Iris Murdoch, dan pemikir proses-khususnya.Hartshorne dan Griffen. Inti dari pendekatan ini trletak pad aide bahwa dengan mereflesikaan watak realitas tertinggi – kebaikan, Tuan (God), ketuhanan (divine)- kita dapat menemumkan wawasan-wawasan yang sesungguhnya mengenai pengalaman manusia dan dunia, reefleksi memberikan gambaran yang benar tengtang bagaimana sesuatu itu. Model paandangan metafisik ini menunjukan pada kita apa yang tertinggi dan ultimate, dan memberikan kita suatu system nilai bagi hidup dalam kehidupan sehari-hari.
Posisi kedua, filsafat sebagi pelayan agama, dapat mencakup pemikir-pemikir seperti Aquinas, John Lock, Baasil Mitchell, dan Richard Swinburne. Refleksi memberikan pengetahuan parsial tentang Tuhan atau beberapa bentuk lain dari ultimate spiritual : ia dapat menunjukan rasionalitas dari proses menyakini bahwa Tuhan ada, mendiskusikan sifat-sfat Tuhan, dalam tradisi Jodeo Kristen, refleksi berfungsi untuk membangnun argument-argumen yang menunjukkan aktivitas Tuhan dalam sejarah dan kontrol Tuhan terhadap dunia. Pelaksanaan refleksi dari ini dikenal dari teologi natural . Akan tetapi  teologi natural tidak dapat memberikan keimanan seseorang, ia mesyaratkan wahyu Tuhan jika orang harus merenspon dengan keimanan dan menerima keanggunan penyelamatan. Bagi Aquinas, wahyu adalah komunitas Tuhan tentang kebenaran tanpa bantuan akal, ia tidak dapat diperoleh dengan sendirinnya, nalar manusia adalah “ muqadimmah” bagi keimanan. John Locke mengembangkan hal ini dengan menyatakan bahwa akal menetapkan suatu standar keebenaran .yanng ditetapkan oleh pengetahuan terwahyu,diuji otoritasnya,wahyu itu tidak boleh bertentangan dengan standar-standar itu. Dan posisi ini dikembangkan dalam karya Richard Swinburn baru-baru ini.
Posisi ketiga, filsafat sebagi pembuat ruang bagi keimanan dapat melipti pemikiran-pemikiran seperti William Ockham, Immanuel Kant, Karl Bath, dan Alvin Plantiga. Refleksi, paling banter hanya dapat memperliatkan ketidakmemadahinya dalam membuat pertimbangan – pertimbangan tentang agama, dengan menunjukan keterbatasan-keterbatasannya, refleksi membuka kemungkinan agama, dan menjelaskan ketergantungan manusia pada wahyu yang dengannya kita memperoleh pengetahuan dari Tuhan.
Posisi keempat, filsafat sebagai study analisis terhadap agama baarangkali adalah posisi yang paling akrab dan mencakup pemikir-pemikir seperti Antony  Flew , Paul Van Buren , R.B. Braith Waite,dan D.Z Phillips. Ini merupakan posisi paling akrab karena merupakan cara berfilsafat agama yang paling dominan dalam dunia berbahasa Inggris. Tujuannya adalah menganalisis dan menjelaskan watak dan fungsi bahasa keagamaan, menemukan bahasa untuk membicarakan Tuhan, apa dasar – dasar yang  digunakan untuk mendukung pengetahuan-pengetahuan mereka dan bagaimana  semua itu dikaitkan dengan  cara hidup mereka.
Posisi kelima, filsafat sebagai study penalaran yang digunakan dalam pemikiran keagamaan, merupakan suatu perkembangan modern dan dapat mencakup pemikir-pemikir seperti David Pailin, Maurice Wiles, dan Jhn Hick. Pendirian dibalik pendekatan agama jenis ini adalah bahwa umat beriman adalah manusia dan oleh karena itu, struktur pemikiran mereka dan kebudaya-kebudayaan partikkular, dimana mereka berada didalamnya merupakan kondisi bagi apa yang mereka yakini. Tujuannya mencoba melihat telliti berbagai konteks dimana orang beriman melangsungkan kehidupannya, mengidentifikasikan factor-faktor yang beroperasi dalam konteks itu yang dapat memengaruhi kenyakinan seseorang, dan melihat bagaimana kenyakinan itu diekspresikan dalam dokrin dan praktik. Penekanannya adalah pada kebudayaan sebagai factor formatif dan berpengaruh terhadap kenyakinan keagamaan. Sejumlah perangkat juga digunakan mencakup peranngkat historis, ilmiah, dan hermeneutic. Pailin mlaporkan bahwa bentuk pendekatan ini memperoleh tanggapan yang menentang – dan dia menunjukkan bahwa saat ini bentuk filsafat agama ini. Kita mesti menyepkati hal ini. Tugas kita sekarang adalah berusaha mengidetifikasi karakteristik yang menjadi inti pendekatan filosofis terhadap agama.[8]





2.8.       Pendekatan Fenomenologis
Dalam diskursus filsafat, tern fenomenologi, bukanlah murni Husserlian. Jauh sebelumnya, istilah ini telah digunakan oleh para filsuf untuk menjelaskan gejala atau penampakan sebuah realitas. Menurut Cairus, orang pertama yang mengapresiasi tern ini adalah Lambert, seorang filsuf yang karya-karyanya berpengaruh pada pertengahan abad 18, terutama bukunya Neo Organom. Di buku ini, lanbert mengguanakan istilah ini untuk menjelaskan teorinya tentang penampakan fundamental pada semua pengetahuan empirik. Masih pada masa yang sama, Emmanuel Kant mmenggunakan istilah ini untuk membedakan antara phenomena dan noumena. Baginya, manusiahanya mengenal fenomen-fenomen yang tampak dalam kesadaran, bukan noumena, yaitu realitas di luar (berupa bnda atau hal-hal yang menjadi objek kesadaran kita) yang kita kenal. Pada abad 19, term ini diberi arti lain oleh Hegel, yaitu conversant about mind, pengetahuan tentang pikiran. Menurutnya, jika kita membaca pikiran semata-mata dengan pengamatan dan penggeneralisasian berbagai fenomena dalam penampakan dirinya, maka kita hanya akan memperoleh satu bagian dari pengetahuan mental, dan inilah yang disebut phenomenology of mind.
Moritz Lazarus memakai kata ini menjelaskan perbedaan antara phenomenology dan psychology. Yang pertama dimaksudkan untuk menggambarkan kehidupan mental (mental life) dan yang kedua mencari penjelasan sebab akibat (causal explanation) kehidupan mental.
Filsafat Husserl dikembangkan melalui tiga tahap.
Pertama, dia merobohkan posisi ilmuwan psikologi psikometrik yang kukuh dengfan dasar-dasar aritmatikanya. Bahkan, dia berusaha keras membuktikan sikap anti psikologistik melalui dasar-dasar logika objektif dan matematis. Kedua, dia bertolak dari filsafat konsepsional sebagai akar psikologi deskriptif Brentanian untuk mengembangkan sebuah disiplin baru mengenai “fenomenologi” dan sebuah posisi yang bersifat metafisik yang disebut “transendental idealism”, dan ketiga, dia mentransformasikan fenomenologinya yang pada awalnya disamakan dengan metode solipsisme ke dalam suatu fenomenologi intersubjektif yang berujung ke dalam suatu pandangan hidup ontologis yang mencakup dunia sosial tentang budaya dan sejarah.
Ketiga tahapan perkembangan fenomenologi Husserl ini merupakan respon filosofisnya terhadap situasi sosial dan budaya masyarakat Eropa pada saat itu. Husserl berpendapat bahwa penyebab terjadinya bkrisis manusia Eropa saat itu karena mereka meninggalkan sikap dan semangat Yunanian yang mempercayai adanya kebenara dan validitas universal (“universally valid thruth”). Semangat ini kata Husserl, pernah menyatukan perbedaan Barat selama beberapa abad. Namun, karena mereka mengingkari sikap ini, maka krisis pun tidak terhindarkan. Untuk menyelamatkan krisis peradaban Eropa, dia menegaskan perlunya dilakukan rehabilitasi terhadap gagasan-gagasan kepastian rasional dengan cara kembali kepada metode fenomenologi, sebagai konsekuensi logis dari “proyek” rehabilitasi ini. Begitulah ketika ia mengkritik para pendukung metode sains natural seperti pragmatisme, “naturalisme” atau “psikologisme” kaum positivistik yang menurutnya bertanggung jawab atas krisis humanitas tersebut.[9]























BAB III
PENUTUP
3.1.    Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa sebenarnya pendekatan agama itu dapat di lakukan dengan brbagai metode yaitu :
-          pendekatan teologis yaitu pendekatan agama secara harfiah dapat diartikan sebagai upaya memahami agama dengan menggunakan kerangka ilmu ketuhanan.
-          Pendekatan Yuridis adalah hukum, jadi yamg dmaksud dengan pendekatan yuridis adalah pemahaman agama islam secara hukum menurut islam.
-          Pendekatan Psikologi atau Ilmu Jiwa adalah ilmu yang mempelajari jiwa seseorang melalui gejala perilaku yang dapat diamatinya.
-          Pendekatan Historis adalah ilmu yang didalamnya membahas berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, obyek, latar belakang, dan pelaku dari peristiwa tersebut.
-          Pendekatan Antropologis yaitu suatu upaya untuk memahami agama dengan cara melihat praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam suatu masyarakat.
-          Pendekatan Sosiologis adalah ilmu yang mempelajari kehidupan manusia dalam tata kehidupan bersama.
-          Pendekatan Filsafat yaitu sebagai pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai sebab-sebab, asas-asas, hukum dan sebagainya terhadap segala yang ada dialam semesta ataupun mengenai kebenaran dan arti adannya sesuatu.



3.2.    Saran
Demikian makalah tentang Berbagai Pendekatan Konteks Studi Islam yang sudah kami paparkan. Kami menyadari makalh kami jauh dari sempurna maka dari itu kritik yang membangun dari pembaca sangat kami harapkan, untuk perbaikan makalah ini. Harapan dari pemakalah, semoga maklah ini dapat memberi pengetahuan baru dan bermanfaat bagi kita semua. Amin.



[1] Imam Suprayogo dan TobroniMetodologi Penelitian Sosial-Agama(Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2003)h.57-58
[2] Ibid, h.59
[3]Peter Connolly Aneka Pendekatan Studi Agama (Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2002),h.323-324
[4] Ibid, h.332-335
[5] Ibid, h.373-376
[6] Ibid, hal 46-48
[7] Ibid hal 35-38                                                                        
8Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998) Hal. 42

[9] Lukman s. Thahir, studi islam interdisipliner.yogyakarta, qirtas, 2003, hal.57-61

Geen opmerkings nie:

Plaas 'n opmerking