BAB
I
PENDAHULUAN
1.1. Latar
Belakang
Dwasa ini, untuk membangun pandangan-pandangan
Islam, diperlukan pengembangan kemampuan personal. Dalam pandangan tersebut,
pengembangan kemampuan personal merupakan persiapan yang bermanfaat untuk
meneliti pemahaman terkait suatu pendidikan, khususnya mengenai pendidikan
Islam (studi Islam). Terdapat suatu upaya dan tenaga untuk mengembangkan
Islam seperti sekarang ini. Namun tak menutup kemungkinan upaya-upaya tersebut
haruslah berlaku hingga sekarang. Sebab permasalahan-permasalahan dan berbagai
cara pandang mengenai Islam semakin hari semakin kompleks. Butuh adanya jalan
tengah yang bisa menyelesaikan permasalahan-permasalahan tersebut.
Salah satu jalan tengah dari
permasalahan permasalahan adalah melalui pendekatan-pendekatan.
Pendekatan-pendekatan tersebut, diharapkan dapat menjawab atas semua
permasalahan yang terjadi.
Pendekatan-pendekatan
yang digunakan, antara lain pendekatan teologis, yuridis, psikologis, historis,
antropologis, sosiologis, filosofis, dan fenomenologis. Untuk lebih jelasnya,
pendekatan-pendekatan tersebut akan dijabarkan dalam bab selanjutnya.
1.2. Rumusan
Masalah
1. Pendekatan
apa sajakah yang digunakan dalam konteks studi Islam?
2. Bagaimana
penjelasan dari masing-masing pendekatan?
1.3. Tujuan
Penulisan Makalah
Untuk
menjelaskan pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam konteks studi Islam.
BAB
II
PEMBAHASAN
Dalam
studi Islam, diperlukan adanya pendekatan-pendekatan yang bertujuan untuk
mencari dan memahami Islam dan hal-hal yang terkait didalamnya. Ada beberapa
pendekatan yang digunakan dalam studi Islam. Diantaranya yaitu pendekatan
teologis, yuridis, psikologis, historis, antropologis, sosiologis, filosofis,
dan fenomenologis.
2.1. PENDEKATAN TEOLOGIS
1.
Pengertian
Teologi
Istilah
teologi lahir dalam tradisi Kristen. Secara harfiyah, teologi berasal dari
bahasa Yunani, theosdan logos yang berarti ilmu ketuhanan.
Istilah teologi dalam bahasa Yunani tersebut, dalam tradisi Islam dikenal
dengan ilmu kalam yang berarti
perkataan-perkataan manusia tentang Allah.Tetapi pengertian ini menurut
Steenbrink (1987:10) dianggap kurang cocok karena teologi memang tidak
bermaksud membicarakan problematika mengenai ketuhanan, baik wujud, sifat, dan
perbuatan-Nya, yang dalam khasanah islam disebut ilmu kalam. Teologi tidak
identic dengan ilmu kalam atau ilmu luhut yang oleh Al-Ahwani diartikan sebagai
rangkaian argumentasi rasional yang disusun secara sistematik untuk memperkokoh
kebenaran akidah agama Islam (Al-Ahwani, 1995:17).A. Hanafi mengartikan ilmu
kalam sebagai upaya mempertahankan keyakinan seputar masalah ketuhanan dari
serangan-serangan pihak luar dengan menggunakan pendekatan filsafat atau
dalili-dalil aqli.
Dalam
Encyclopaedia of Religion and Religions, dikatakan bahwa teologi adalah ilmu
yang membicarakan tentang tuhan dan hubungan-Nya dengan alam semesta, namun
sering kali diperluas mencakup seluruh bidang agama.Dengan demikian, teologi
memiliki pengertian luas dan identic dengan ilmu agama itu sendiri.Dalam
diskursus ilmiah, istilah teologi biasanya memiliki arti yang khusus.Teologi,
kata Pidekso, sebagai upaya seluruh orang beriman dalam menangkap, memahami
serta memberlakukan kehendaktuhan melalui konteksnya (Ambednego,
1994:15).Teologi adalah refleksi orang yang beriman tentang bagaimana bentuk
atau nilai-nilai kualitas iman yang dimilikinya. Kata Anselmus, teologi adalah
fides quaren intellectum, iman yang mencari pengertian (Amin, 1988: ix).
Teologi
juga dapat dilihat dari tiga segi: teologi actual yaitu berteologi yang
melahirkan keprihatinan iman dalam wujud tingkah laku sehari-hari; teologi
intelektual, yaitu teologi yang melahirkan pemikiran keagamaan berjilid-jilid
yang hanya dipahami oleh para alim dibidang ini dan teologi spiritual yang
melahirkan perilaku mistik.[1]
2. Teologi sebagai Metode Studi Islam
Pendekatan teologi dalam studi agama adalah pendekatan
iman untuk merumuskan kehendak Tuhan berupa wahyu yang disampaikan kepada para
nabinya agar kehendak tuhan itu dapat dipahami secara dinamis dalam konteks
ruang dan waktu.Karena itu, pendekatan teologis dalam studi agama disebut juga
pedekatan normative dari ilmu-ilmu agama itu sendiri. Secara
umum, metode teologis/normatifdalam studi agama bertujuan untuk mencari
pembenaran dari suatu ajaran agama atau
dalam rangka menemukan pemahaman/pemikiran keagamaan yang lebih dapat
dipertanggung jawabkan secara normative idealistik.
Dalam
Islam, metode teologis, khususnya teologi intelektual, telah melahirkan
ilmu-ilmu keagamaan yang mantap, baik objek maupun metodologinya. Ilmu-ilmu
keagamaan itu antara lain ilmu tafsir, ilmu hadis, ilmu fikih, ilmu
akhlak/tasawuf dan ilmu klam yang masing-masing memiliki cabang atau ilmu
bantunya. Ilmu tafsir misalnya memiliki ilmu bantu seperti ulun Al-Qur’an,
asbab al-nuzul dan balaghah. Walaupun ilmu-ilmu keagamaan berdiri sendiri,
tetapi tetap memerlukan satu kesatuan yaitu dalam rangka menangkap dan
menjelaskan kehendak tuhan.[2]
3. Hubungan antara Teologi dan Studi-Studi
Keagamaan
Ada tiga
konsekuensi terhadap teologi dan studi-studi keagamaan:
a.
Jelas
bahwa teologi Kristen dengan sendirinya tidak dapat menjadi satu-satunya kunci
bagi “rethinking” ini. Teologi-teologi lain Muslim, Yahudi, Hindu, Budha, dan
Konghucu masing-masing memiliki peranya sendiri. Demikian pula, studi-studi
keagamaan memainkan peran signifikan karena perannya secara inheren lebih luas
dibandingkan peran teologi Kristen, dan pencarian atas teologi global muncul
baik dalam lingkungan studi-studi keagamaan maupun dalam teologis.
b.
Studi-studi
keagamaantelah meiliki tempat dalam dua model diantara model-model yang telah
dipaparkan diatas. Oleh karena itu, terjadi perdebatan yang terus menerus
tentang apakah ia harus ditempatkan dalam departemen teologi atau departemen
humanitas (departemen ilmu social). Lebih dari kebanyakan wilayah studi
lainnya, studi keagamaan mencakup beragam metode dan pendekatan dan olehkarena
itu, bagaimanapun juga ia memiliki pengaruh yang luas terhadap pengetahuan.
Teologi tampaknya juga perlu memperluas focus intelektualnya pada wilayah
pengetahuan yang lebih luas dan membantu proses “rethinking” sekalipun kerangka
kerja tradisinya bersifat partikular yang menjadikannya lebih rumit daripada
studi-studi keagamaan.
c.
Studi
keagamaan dan teologi menyadari bahwa keduanya memiliki tugas yang penting
dalam ketiga proses pengetahuan dan ketiga model pengetahuan yang di kemukakan
di atas, tidak semata dalam segmennya sendiri. Dalam banyak lingkaran, perlahan
mulai tumbuh kesadaran mengenai komplementaritas antara teologi dan studi-studi
keagamaan dalam agama dunia global.[3]
4.
Teologi
Agama-Agama (Theology of Religions)
Bagi
umat Hindu semenjak era klasik, konsep-konsep kunci tertentu telah menjadi
parameter bagi way of life Hindu. Konsep itu berpusat pada gagasan tentang
Brahmana sebagai realitas ultimate di balik alam, Atman sebagai diri inner
dalam manusia, nasib manusia sebagai lingkaran kelahiran kembali yang
terus-menerus, penyelamatan sebagai pelapisan diri dari kelahiran kembali,
cara-cara penyadaran inner (jnana), ketaatan (bhakti), dan terlibat aktif di
dunia (di bawah kuasa Tuhan) sebagai jalan penyelamatan, dan peran berbagai
dewa personal seperti Shiwa, Wisnu, Dewi, dan dua inkarnasi dasar dari Wisnu
(avataras) yakni Rama dan Khrisna. Dalam kaitan dengan tradisi Budhis menolak
gagasan tentang ketuhanan (dalam pengertian Brahmana), dan bahkan (real self)
diri yang sesungguhnya (dalam pengertian Atman) dan menggunakan kata seperti
“transendentologi” sebagai ganti teologi untuk mengakomodasi gagasan-gagasan
Budhis tentang Nirwana dan Dharma yang memiliki nuansa transendensi.
Dalam
menganalisis teologi-teologi agama (theology of religion), sarjana agama akan
menemui sejumlah perbedaan teologis dalam tradisi-tradisi keagamaan. Perubahan
itu bias jadi merupakan perbedaan subtansi atau perbedaan cara kerja teologi
(ways of doing theology). Perbedaan yang terdapat dalam tradisi itu dapat
bertepatan dengan perbedaan-perbedaan lintas tradisi atau justru tidak
bersesuaian.
Terdapat
beragam tipe teologi dalam masing-masing tradisi. Secara mendasar terdapat
empat macam tipe:
1. Tipe teologi deskriptif, historis,
positivistic yang disukai para sejarahwan dalam setiap tradisi yang berusaha mendeskripsikan
apa yang fungsional secara doctrinal tanpa mengabaikan pertimbangan lain. Tipe
ini merupakan tipe yang terdekat dengan teologi fenomenologis, dan lebih
memfokuskan pada deskripsi daripada pengakuan siman.
2. Tipe teologi sistematik yang berusaha
meringkas doktrin-doktrin dari komunitas beriman dalam suatu pengertian
pengakuan (confessional). Dalam hal ini, tidak ada upaya agar menjadi bebas
nilai, tetapi dimaksudkan untuk mengkonstruksi posisi-posisi doctrinal dan
persasian keimanan dengan suatu cara yang akan meningkatkan tradisi itu.
Seluruh tradisi keagamaan memiliki tipe tipologi ini.
3. Tipe teologi filosofis yang berusaha
terlibat dengan posisi-posisi lain pada tingkat filosofis, dengan membawa dan
memberikan reaksi kepadanya secara serius. Salah satu tujuannya mungkin tetap
apologetik yakni mempertahankan dan menonjolkan posisinya sendiri dengan
argument yang ternalar.
4. Terdapat apa yang secara lebih luas
disebut dengan teologi dialog. Waktu-waktu terakhir , tipe ini lebih lazim
namun bukan berarti di masa lalu tidak ada. Tipe ini mengandung keinginan
secara sengaja untuk memahami tradisi-tradisi lain demi kepentingannya sendiri,
bukan semata-mata karena alasan apologetik. [4]
5. Teologi Agama-Agama Global: Ke Arah
Etika Global
Pada tanggal 4
September 1993, dalam suatu pertemuan yang menandai seratus tahun Chicago world
parliament of religion 1893, diluncurkan suatu deklarasi kearah suatu etika
global.Meskipun panjang, hal ini patut dikutip secara sempurna.
Kami Menyatakan:
Kita saling
bergantung.Masing-masing kita bergantung pada kesejahteraan keseluruhan dan
oleh karenanya, kita menghargai komunitas segala yang hidup; manusia, binatang,
tumbuhan, pelestarian bumi, udara, air, dan minyak.
Kita memilki
pertanggung jawaban individual atas segala yang kita lakukan.Seluruh keputusan,
perbuatan, dan kegagalan kita dalam bertindak memilki konsekuensi.
Kita harus
memperlakukan pihak lain sebagaimana kita ingin diperlakukan oleh mereka.
Kita membuat
suatu komitmen untuk menghormati kehidupan dan harkat, individualitas dan
diversitas sehingga setiap orang diperlakukan secara manusiawi, tanpa
terkecuali.Kita harus memilki kesabaran dan sikap menerima.Kita harus dapat
memaafkan, belajar dari masa lampau namun tidak pernah membiarkan dirikita
diperbudak oleh memori kebencian. Membuka hati untuk orang lain.
Kita
mempertimbangkan keluarga kita.Kita harus berusaha keras untuk menjadi baik dan
murah hati. Kita hidup harus tidak untuk
diri kita sendiri tetapi juga mesti untuk orang lain, tidak pernah
melupakan anak-anak, orang lanjut usia, orang miskin, orang yang menderita,
cacat, pengungsi, dan orang-orang yang sebatang kara.
Kita commit pada
suatu kebudayaan tanpa kekerasan, penuh penghargaan, keadilan, dan kedamaian.
Kita tidak akan menindas, melukai, menganiaya, atau membunuh manusia lain,
meninggalkan kekerasan sebagai cara menyelesaikan perbedaan.
Kita harus
berusaha keras mewujudkan aturan social dan ekonomis yang adil di mana setiap
orang memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai potensi yang sempurna sebagai
seorang manusia. Kita harus berbicara dan berbuat dengan segala kesungguhan dan
dengan rasa keharuan, berlaku jujur terhadap semua orang dan menghindari
prasangka dan kebencian.
Kami menyeru
seluruh manusia, entah yang religious maupun tidak, untuk melakukan hal yang
sama.
Tujuan pendekata teologi ini adalah memahami agama, memahami
system-sistem konseptual agama di dalam dan antar agama, termasuk etika-etika
agama.[5]
2.2.
Pendekatan Yuridis
Yuridis
adalah hukum, jadi yamg dmaksud dengan pendekatan yuridis adalah pemahaman
agama islam secara hukum menurut islam. Hukum yang dpakai umat islam adalah
berdasarkan AL-QUR’AN dan WAHYU yang diturunkan ALLAH kepada para NABI. Islam
mengajarkan manusia untuk `mentaati peraturan, sedangkan peraturan merupakan
hukum itu sendiri. Dalam pelaksanaannya manusia kurang menyadari bahwa
pendekatan yuridis sudah dialami oleh para Nabi. Islam adalah agama.
Perkembangan yuridis itu sendiri prosesnya dapat dibagi menjadi 4 periode:
1.
Periode
Nabi
2.
Periode
Sahabat
3.
Periode
Ijtihad dan kemajuannya
4.
Periode
Taklid dan kemundurannya
1.
Periode
Nabi
Segala
persoalan dikembalikan kepada Nabi untuk menyelesaikan setiap masalah yang ada,
karena Nabi merupakan sumber hokum. Secara tekstual pembuat hokum adalah Nabi,
tetapi secara kontesktual pembuat hokum adalah Allah, karena hokum yang
dikeluarkan Nabi bersumber pada wahyu dari Allah. Nabi sebenarnya bertugas
menyampaikan dan melaksanakan hokum yang ditentukan oleh Allah. Sumber hokum
yang ditinggalkan Nabi untuk umatnya setelah zamanya adalah Al-Qur’an dan
Sunnah.
2.
Periode
Sahabat
Pada
zaman para sahabat daerah yang dikuasai islam semakin luas. Daerah-daerah yang
diluar Semenanjung Arabia telah mempunyai kebudayaan yang lebih maju dan
susunan masyarakat yang modern dibandingkan dengan masyarakat Arabia ketika
itu. Jadi persoalan-persoalan yang dihadapi pada periode sahabat kepada
masyarakat yang berada di daerah baruitu lebih sulit penyelesainnya dibandigkan
dengan persoalan yang dihadapi masyarakat Arabia itu sendiri.
Untuk
mencari penyelesaiannya para sahabat kembali kepada Al-Qur’an sunnah yang
ditinggalkan Nabi. Al-Qur’an sendiri pada masa sahabat dihafal sedangkan sunnah
tidak dihafal oleh semua sahabat, setelah Al-Qur’an dihafal oleh semua sahabat
maka pada masa kholifah Abu Bakar Al-Qur’an dibukukan sedangkan sunnah (hadits)
tidak dibukukan karena para sahabat lebih condong kepada Al-Qur’an.
Pada
masa sahabat mempunyai masalah yang tidak bisa dselesaikan karena mereka sudah
mencari didalam al-qur’an dan hadits tidak bias menyelesaikan masalah tersebut,
maka mereka berijtihat untuk menyelesaikan masalah. Tetapi turunya wahyu Cuma
pada periode Nabi maka para sahabat melakukan ijma’ atau konsesus sahabat.
Maksudnya ijma’ yaitu kholifah tidak memutuskan masalah hokum dengan sendiri
tetapi bertanya lebih dahulu kepada para sahabat yang lainnya.
Sumber
hokum yang ditinggalkan para sahabat adalah Al-Qur’an, Sunnah Nabi dan Sunnah
sahabat.
3.
Periode
Ijtihad
Pada
periode ini islam mengalami kejayaan yang terjadi pada tahun 700-1000 Masehi.
Periode ini juga disebut periode pengumpulan hadist, ijtihad atau fatwa sahabat
dan tabi’in (generasi setelah sahabat). Sesuai dengan bertambah luasnya daerah
islam, berbagai macam bangsa masuk islam dengan membawa berbagai macam
adat-istiadat, tradisi dan system kemasyarakatan. Problematika hokum yang
dihadapi beragam. Untuk mengatasi para ulam-ulama banyak mengadakan ijtihad.
Ijtihad mereka berdasarkan al-qur’an, sunnah nabi, sunnah sahabat. Maka
timbullah ahli-ahli hokum mujtahid yang
disebut imam atau faqih (fuqaha’) dalam islam.
Maka
kita saat ini mengenal dengan nama mahzah yang dimana kita ketahui ada 4 mahzab
yaitu :mahzab Hanafi, mahzab Maliki, mahzab Syafi’I dan mahzab Hambali.
4.
Periode
Tklid
Periode
taklid tejadi pada abad ke-4 Hijriah (abad ke-11 Masehi) bersamaan dengan
kemunduran islam dalan sejarahnya. Masyarakat sudah tidak tetuju pada
sumber-sumber hokum yang telah ada sebelum periodenya, tetapi mereka lebih tetu
hanya untuk mempertahankan hokum menurut mahzabnya masing-masing setiap
individu atau kelompok. Ulama-ulama caliber besar yang sederajat dengan Abu
Hanafiah, Maliki, Syafi’I dan Ibnu Hambal sudah tiadak ada lagi dan ijtihad
yang dijalankan para ul;ama belum mencapai derajat yang mujtahid, maka mereka
hanya membawa kekacauan dalam bidang hokum dan dalam masyarakat.
2.3.
Pendekatan Psikologis
Psikologi atau Ilmu Jiwa adalah ilmu yang mempelajari
jiwa seseorang melalui gejala perilaku yang dapat diamatinya. Menurut Zakiah
Daradjat bahwa perilaku seseorang yang nampak jahiriyah terjadi karena
dipengaruhi oleh keyakinan yang dianutnya. Seseorang ketika berjumpa saling
mengucapkan salam, hormat kepada kedua orang tua, kepada guru, rela berkorban
untuk kebenaran dan sebagainya adalah merupakan gejala-gejala keagamaan yang
dapat dijelaskan melalui ilmu jiwa agama. Ilmu jiwa agama sebagaimana
dikemukakan oleh Zakiah Darajat tidak akan mempersoalkan benar tidaknya suatu
agama yang dianut oleh seseorang, melainkan yang dipentingkan adalah bagaiman
keyakinan agama tersebut terlihat pengaruhnya dalam perilaku penganutnya.
Dalam ajaran agama banyak kita jumpai istilah-istilah
yang menggambarkan sikap batin seseorang. Misalnya sikap beriman dan sikap
bertakwa kepada Allah, sebagai orang yang saleh, orang yang berbuat baik, orang
yang jujur dan sebagainya. Semua itu adalah gejala-gejala kejiwaan yang
berkaitan dengan agama.
Dengan ilmu jiwa seseorang selain akan mengetahui tingkat
keagamaan yang dihayati, dipahami dan dan diamalkan seseorang, juga dapat
digunakan sebagai alat untuk memasukkan agama ke dalam jiwa seseorang sesuai
dengan tingkat usianya. Dengan ilu ini agama akan menemukan cara yang tepat dan
cocok untuk menamakannya.
Kita misalnya dapat mengetahui pengaruh dari salat,
puasa, zakat, haji dan ibadah lainnya dengan malalui Ilmu Jiwa Dengan
mengetahui ini, maka dapat disusun langkah-langkah baru yang lebih efisien lagi
dalam menanamkan ajaran agama. Itulah sebabnya ilmu jiwa ini banyak digunakan
sebagai alat untuk menjelaskan gejala
atau sikap keagamaan seseorang.
Dari uraian tersebut di atas kita melihat ternyata agama
dapat dipahami melalui berbagai pendekatan. Dengan pendekatan itu semua orang
akan sampai pada agama. Seorang teolog, sosiolog, antropolog, sejarawan, ahli
ilmu jiwa dan budayawan akan sampai paa pemahaman agama yang benar. Disini kita
melihat bahwa agama bukan hanya monopoli kalangan teolog dan normatif belaka,
melainkan agama dapat dipahami semua orang sesuai dengan pendekatan dan
kesanggupan yang dimilikinya. Dari keadaan demikian seseorang akan memiliki
kepuasan dari agama, karena seluruh persoalan hidupnya mendapat bimbingan dari
agama.
2.4.
Pendekatan Historis
Kata
sejarah secara harfiah berasal dari bahasa arab “syajaratun” yang artinya
pohon. Dalam bahasa arab sendiri, sejarah disebut dengan tarikh. Adapun kata
tarikh dalam bahasa Indonesia artinya kurang lebih adalah waktu atau
penanggalan. Kata Sejarah lebih dekat pada bahasa Yunani yaitu historia, yang
berarti ilmu atau orang pandai. Kemudian dalam bahasa Inggris menjadi history,
yang berarti masa lalu manusia. Kata lain yang mendekati acuan tersebut adalah
Geschichte yang berarti sudah terjadi.
Pengertian
sejarah secara istilah ilmu yang didalamnya membahas berbagai peristiwa dengan
memperhatikan unsur tempat, waktu, obyek, latar belakang, dan pelaku dari
peristiwa tersebut. Menurut ilmu ini segala peristiwa dan dapat dilacak dengan
melihat kapan peristiwa itu terjadi, di mana, apa sebabnya, siapa yang terlihat
dalam peristiwa tersebut.
Melalui pendekatan sejarah seseorang diajak menukik dari
alam idealis ke alam yang bersifat empiris dan mendunia. Dari keadaan ini
seseorang akan melihat adanya kesenjangan atau keselarasan antara yang terdapat
dalam alam idealis dengan yang ada di alam empiris dan historis.
Pendekatan kesejarahan ini amat dibutuhkan dalam memahami
agama, karena agama itu sendiri turun dari situasi yang konkret bahkan
berkaitan dengan kondisi sosial kemasyarakatan. Dalam hubungan ini Kuntowijoyo
telah melakukan stusi yang mendalam terhadap terhadap agama yang dalam hal ini
Islam, menurut pendekatan sejarah. Ketika ia mempelajari al-Qur’an, ia sampai pada
suatu kesimpulan bahwa pada dasarnya kandungan al-Qur’an itu terbagi menjadi
dua bagian. Bagian pertama, berisi konsep-konsep, dan bagian kedua,
berisi kisah-kisah sejarah dan perumpamaan.
Dalam bagian pertama yang berisi konsep-konsep, kata
mendapati banyak sekali istilah al-Qur’an yang merujuk kepada
pengertian-pengertian normatif yang khusus, doktrin-doktrin etik, aturan-aturan
legal dan ajaran-ajaran keagamaan pada umumnya. Istilah-istilah, atau
singkatnya pernyataan-pernyataan itu mungkin diangkat dari konsep-konsep yang
telah dikenal oleh masyarakat Arab pada waktu al-Qur’an diturunkan atau bisa
jadi merupakan istilah-istilah baru yang dibentuk untuk mendukung adanya
konsep-konsep religius yang ingin diperkenalkqnnya. Yang jelas, istilah-istilah
itu kemudian diintegrasikan ke dalam pandangan dunia al-Quran, dan dengan
demikian, menjadi konsep-konsep yang otentik.
Dalam bagian pertama ini, kita mengenal banyak sekali
konsep baik yang bersifat abstrak maupun konkret. Konsep tentang Allah, konsep tentang Malaikat, tentang akhirat,
tentang ma’ruf, munkar dan sebagainya adalah konsep-konsep yang abstrak.
Sementara itu juga ditunjukkan konsep-konseo yang lebih menunjuk kepada
fenomena konkret dan dapat diamati (obsereable), misalnya konsep tentang
fuqara (orang-orang fakir), dhu’afa (orang-oran lemah), mustadh’afin
(kelas tertindas), zhalimun (para tiran), agniya (orang-orang
kaya), mustakbirun (penguasa), mufasidun (koruptor-koruptor) dan
sebagainya.
Selanjutnya jika pada bagian yang berisi konsep-konsep,
al-Qur’an bermaksut membentuk pemahaman yang komprehensif mengenai nilai-nilai
Islam, maka pada bagian kedua yang berisi kisah-kisah dan perumpamaan,
al-Qur’an ingin mengajak dilakukannya perenungan untuk memperoleh hikmah.
Melalui kontemplasi terhadap kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa
historis, dan juga melalui metafor-metafor yang berisi hikmah tersembunyi,
manusia diajak merenungkan hakikat dan maka kehidupan. Banyak sekali ayat yang
berisi ajakan semacam ini, tersirat maupun tersurat, baik menyangkut hkmat
historis ataupun menyangkut simbol-simbol. Misalnya simbol tentang rapuhnya
rumah laba-laba, tentang keganasan samudera yang menyebabkan orang-orang kafir
berdoa.
Melalui pendekatan sejarah ini seseorang diajak untuk
memasuki keadaan yang sebenarnya berkenaan dengan penerapan suatu peristiwa.
Dari sini, maka seseorang tidak akan memahami agam keluar dari konteks
historisnya. Seseorang ingin memahami al-Qur’an secara benar misalnya, yang
bersangkutan harus mempelajari sejarah turunnya al-Qur’an atau
kejadian-kejadian yang emngiringi urunnya al-Qur’an yang selanjutnya disebut
sebagai Ilmu Asbab An-nuzul (Ilmu tentang Sebab-sebab Turunnya Ayat Al-Qur’an)
yang pada intinya berisi sejarah turunnya ayat al-Quran. Dengan Ilmu Asbabunnuzul
ini seseorang dapat mengetahui hikmah yang terkandung dalam suatu ayat yang
berkenaan dengan hukum tertentu, dan ditujukan untuk memelihara syari’at dari
kekeliruan memahaminya.[6]
2.5.
Pendekatan Antropologis
Pendekatan
antropologis yaitu suatu upaya untuk memahami agama dengan cara melihat praktik
keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam suatu masyarakat. Dengan pendekatan
seperti ini agama terasa akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang di hadapi
setiap individu maupun kelompok untuk menyelesaikan suatu masalah yang sedang
dihadapinya. Jadi cara yang digunakannya dengan disiplin ilmu antropologi untuk
memehami agama. Menurut Dawam Rahardjo, dia lebih mengutamakan pengamaqtan
langsung yang bersifat partisipasif (menjadi bagian dalam suatu masyarakat).
Pendekatan antopologis dengan mengunakan cara penelitian yaitu: penelitian
antropologis yang induktif dan grounded maksudnya pendekatan yang turun
kelapagan tanpa berpijak pada upaya untuk membebaskan diri dari suatu
teori-teori formal yang pada dasarnya sangat abstrak sebagaimana yang dilakukan
di bidang sosiologi dan ekonomi yang mempergunakan model –model matematis, dan
ini malah memberi banyak sumbagan terhadap penelitian historis.
Melalui
pendekatan antropologi sosok agama yang berada pada dataran emprik akan dapat
dilihat sertat-seratnya dan latar belakang mengapa ajaran agama dapat
dimunculkan dan dirumuskan. Dalam penelitian antropologi agama dapat ditemukan
adanya hubungan yang positif antara kepercayaan agama dengan kondisi ekonomi dan politik suatu masyarakat.jadi kkesimpulan
penelitian antropologi, golongan masyarakat yang kurang mampudan golongan
masyarakat miskin pada umumnya lebih tertarik pada gerakan keagamaan yang
bersifat mesianis sedangkan golongan kaya lebih tertarik (cenderung) untuk mempertahankan
tatanan masyarakat yang sudah mapan secara ekonomi lantaran tatanan tersebut
menguntungkan pihaknya.[7]
2.6.
Pendekatan Sosiologis
Sosiologis adalah ilmu yang mempelajari kehidupan
manusia dalam tata kehidupan bersama. Pusat perhatiannya adalah kehidupan
kelompok dan tingkah laku sosial. Sosiologi didefinisikan secara luas sebagai
bidang penelitian yang tujuannya meningkatkan pengetahuan melalui pengamatan
dasar manusia, kebiasaan-kebiasaan, ritual-ritual, dan pola organisasi serta
hukum-hukumnya.
Dari definisi tersebut terlihat bahwa sosiologi adalah suatu ilmu yang
menggambarkan tentang keadaan masyarakat lengkap dengan struktur, lapisan,
serta berbagai gejala sosial lainnya yang saling berkaitan. Asumsi dasar
pendekatan sosiologi terhadap agama adalah bahwa gejala-gejala keagamaan dapat
dimengerti dengan menganalisisnya sebagai gejala sosial, sebagai sesuatu yang
tercipta dalam hubungan antara manusia, dan karenanya dapat dijelaskan dengan
menggunakan terori-teori yang berlaku dalam ilmu sosial. Selanjutnya, sosiologi dapat digunakan sebagai salah
satu pendekatan dalam memahami agama. Hal demikian dapat dimengerti, karena
banyak bidang kajian agama yang baru dapat dipahami secara proporsional dan
tepat apabila menggunakan jasa bantuan dan ilmu sosiologi.
Jalaluddin Rahman dalam bukunya yang berjudul Islam Alternatif,
menunjukkan betapa besarnya perhatian agama yang dalam hal ini Islam terhadap
masalah sosial, dengan mengajukan lima alasan sebagai berikut:
Pertama, dalam Al-Qur’an atau
kitab-kitab hadits, proporsi terbesar kedua sumber hukum Islam itu berkenaan
dengan urusan muamalah. Menurut Ayatullah Khomaeni dalam bukunya Al-Hukumah
Al-Islamiyah yang dikutip Jalaluddin Rahman, dikemukakan bahwa perbandingan
antara ayat-ayat ibadah dan ayat-ayat yang menyangkut kehidupan sosial adalah
satu berbanding seratus – untuk satu ayat ibadah, ada seratus ayat muamalah
(masalah sosial).
Kedua, bahwa ditekankannya masalah
muamalah (sosial) dalam Islam ialah adanya kenyataan bahwa bila urusan ibadah
bersamaan waktunya dengan urusan muamalah yang penting, maka ibadah boleh
diperpendek atau ditangguhkan (tentu bukan ditinggalkan), melainkan dengan
tetap dikerjakan sebagaimana mestinya.
Ketiga, bahwa ibadah yang mengandung
segi kemasyarakan diberi ganjaran lebih besar dari pada ibadah yang bersifat
seorangan. Karena itu shalat yang dilakukan secara berjamaah dinilai lebih
tinggi nilainya dari pada shalat yang dikerjakan sendirian (munfarid) dengan
ukuran satu berbanding dua puluh derajat.
Keempat, dalam Islam terdapat
ketentuan bila urusan ibadah dilakukan tidak sempurna atau batal karena
melanggar pantangan tertentu maka kifaratnya (tembusannya) adalah melakukan
sesuatu yang berhubungan dengan masalah sosial.
Kelima, dalam Islam terdapat ajaran
bahwa amal baik dalam bidang kemasyarakatan mendapat ganjaran lebih besar dari
pada ibadah sunnah.
Ilmu sosial dapat digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam memahami
agama. Hal ini dapat dimengerti karena banyak bidang kajian agama yang baru
dipahami secara imporsional dan tepat apabila menggunakan jasa bantuan dari
ilmu sosila. Pentingnya pendekatan sosial dalam agama sebagaimana disebutkan
diatas, dapat dipahami, karena banyak sekali ajaran agama yang berkaitan dengan
masalah sosial. Besarnya perhatian agama terhadap masalah sosial ini
selanjutnya mendorong kaum agama memahami ilmu-ilmu sosial sebagai alat untuk
memahami agamanya.
Pendekatan sosiologis dibedakan dari pendekatan studi agama lainnya karena
fokus
perhatiannya pada interaksi antara agama dan masyarakat. Teori sosiologis
tentang watak agama serta kedudukan dan signifikansinya dalam dunia sosial,
mendorong ditetapkannya serangkaian kategori-kategori sosiologis, yaitu:
Stratifikasi sosial, seperti kelas
dan etnisitas.
Kategori
biososial, seperti seks, gender, perkawinan, keluarga, masa kanak-kanak, dan
usia.
Pola
organisasi sosial meliputi politik, produksi ekonomis, sistem-sistem
pertukaran, dan birokrasi.
·
Proses sosial, seperti formasi
batas, relasi intergroup, interaksi
personal, penyimpangan, dan globalisasi.
Pendekatan sosiologis memiliki makna yang sangat
penting dalam konteks studi islam. Berbagai dinamika dan perkembangan yang
terjadi dalam masyarakat memerlukan
telaah dan penelitan secara memadai. Dengan bantuan pendekatan sosiologis,
dapat diungkap berbagai karakteristik, kekayaan khazanah, dan deskiripsi yang
unik dari komunitas muslim di berbagai tempat.
2.7.
Pendekatan Filosofis
Secara harfiah, kata
filsafat berasal dari kata philo yang
berarti cinta kepada kebenaran ilmu, dan hikmah. Selain itu filsafat dapat pula
berarti mencari hakikat tertentu, berusaha menautkan sebab dan akibat serta
berusaha menafsirkan pengalaman-pengalaman manusia. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia , Poerwadarminta
mengartikan filsafat sebagai pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai
sebab-sebab, asas-asas, hukum dan sebagainya terhadap segala yang ada dialam
semesta ataupun mengenai kebenaran dan arti adannya sesuatu . Jika kita melihat definisi yang diberikan
oleh dua oranng yang mula-mula mencintai kebijakan- Plato dan Aristoteles –kita
dapat mulai melihat bagaimana kemungkinan-kemungkinan itu dapat dimengerti.
Plato mendiskripsikan filsuf sebagai
orang yang siap merasakan setiap bentuk pengetahuan, senang belajar dan
tidak pernah puas. Aristoteles juga memberikan suatu definisi filsafat sebagai
“pengetahuan mengenai kebenaran”. Terhadap kedua definisi tersebut kita dapat
meambah definisi ketiga yang diberikan oleh Sextus Empiricus, filsafat adalah
suatu aktifitas yang melindungi kehidupi yang bahagia melalui diskusi dan
argumen. Maka unsure kunci yang menyusun
“cinta pada kebajikan” adalah kemauan menjaga pikiran tetap terbuka, kesediaan membaca
secara luas, dan mempertimbangkan selurh wilayah pmikiran dan memiliki perhatian pada kebenaran . Semua itu
adalah bagian dari suatu aktivitas atau proses dimana dialog, diskusi, dan
mngemukakan ide dan argumen merupakan intinya. Usur-unsur itu dikemukakan
melaui karya-karya Plato. Metoe Plato dalam berfilsafat adalah melalui dialog,
berbincang dengan orang lain (biasanya Socrates) atau sekelompok orang.
Gagasannya adalah bahwa kkita dapat menggunakan dialog untuk mencari kebenaran
sesuatu. Dengan mengemukakan suatu ide dan eorang menanggapinya,dan
kemudinmelakukan perubahan dan penambahan ide itu melaui respon yang diberikan
dan mendengarkan respon lainnya, kita secara gradual meninngkatkan kebenaran
yang sedang kita bicarakan dalam tahapan dan tingnkatan yang gradual. Dialog
–dialog Plato jarang mencapai kesimpulan yang pasti, namun ini tidak masalah
karena ini justtru memberitahukan kkita hal yang menarik kentang filsafat.
Kenyataan ini menunjukan kepada kita bahwa filsafat memilki perhatian untuk
memberikan sesuatu pembahasan yang rasional ……tentang watang yang
dilawaankan dengan pembahasan yang diterima …murni berdasar otoritas atau
kenyakinan atau tradisi.
Dengan kata lain, “cinta kepada
kebajikan“ ini adalah suatu komitmen, suatu kemauan yang mengikuti sesuatu argument atau alur pemikiran atau
suatu ide sampai pada suatu kesimpulan-kesimpulannya, namun setiap langkah
proses itu selalu terbuka untuk ditentangkan selalu terbukan untuk dibuktikan
salah. Kesimpulan-kesimpulan yang dicapai bersifat sementara dan
tentative.
Pengertian filsafat yang umum digunakan
adalah pendapat yang dikemukakan Sidi Gazalba . Menurutnya filsafat adalah
berfikir secara mendalam, sistematik, radikal dan universal dalam rangka
mencari kebenaran, inti, hikmah dan hakikat mngenai segala sesuatu yang ada.
Difinisi tersebut dapat diketahui bahwa
filsafat pada intinya berupanya menjelaskan inti, hakikat atau hikmah mengenai
sesuatu yang berada diballik objek formanya. Filsafat mencari sesuatu yang
mendasar, asas dan inti yang terdapat diballik yang bersifat lahiriah.
Dalam pendekatan ini kita memperoleh
petunjuk asal-usul datangnya filsafat. Saat ini , filsafat dilihat sebagai
disiplin yang melatih orang dalam seni berfikir, apayang kami maksud dengan “
seni berfikir “ adalah emperoleh sekumpulan keahlian yang memungkinkan
terjadinya sesuatu bentuk pemikiran tertentu. Bentuk pmikiran ini disebut
dengan argumentative atau kritis, pemikiran yang concern dengan pengajuan
argument, menguji kelemahannya, membelanya dari keberatan-keberatan, dan
mengembangkannya dalam suatu cara yang koheren dan logis. Berfilsafat sama
halnya dengan murid-murid diajari menulis esai. Seolah – olah melakukan dialog
dengan diri sendiriatau dialog dengan lawan imaginer.
Secara khusus kita dapat mengidentifiksikan
empat posisi mengenai hubungan antara filsafat dan agama, sebagaimana muncul
dalam suatu sejarah perdebatan. Keempat posisi itu adalah : (1) Filsafat
sebagai agama,(2) Filsafat sebagai pelayan agama,(3) Filsafat sebagai yang
membuat ruang bagi keimanan dan,(4) Filsafat sebagai perangkat analitis bagi
agama. Terhadap posisi itu kita dapat menambahkan , (5) Filsafat sebagia study
tentang penalaran yang digunakan dalam pemikkkiran keagamaan.
Posisi pertama, filsafat sebagai agama, di Barat dapat mencakup
pemikiran-pemikiran seperti Plato, Plotinus, Porphyry, Spinoza, Iris Murdoch,
dan pemikir proses-khususnya.Hartshorne dan Griffen. Inti dari pendekatan ini
trletak pad aide bahwa dengan mereflesikaan watak realitas tertinggi –
kebaikan, Tuan (God), ketuhanan (divine)- kita dapat menemumkan wawasan-wawasan
yang sesungguhnya mengenai pengalaman manusia dan dunia, reefleksi memberikan
gambaran yang benar tengtang bagaimana sesuatu itu. Model paandangan metafisik
ini menunjukan pada kita apa yang tertinggi dan ultimate, dan memberikan kita
suatu system nilai bagi hidup dalam kehidupan sehari-hari.
Posisi kedua, filsafat sebagi pelayan agama, dapat mencakup
pemikir-pemikir seperti Aquinas, John Lock, Baasil Mitchell, dan Richard
Swinburne. Refleksi memberikan pengetahuan parsial tentang Tuhan atau beberapa
bentuk lain dari ultimate spiritual :
ia dapat menunjukan rasionalitas dari proses menyakini bahwa Tuhan ada,
mendiskusikan sifat-sfat Tuhan, dalam tradisi Jodeo Kristen, refleksi berfungsi
untuk membangnun argument-argumen yang menunjukkan aktivitas Tuhan dalam
sejarah dan kontrol Tuhan terhadap dunia. Pelaksanaan refleksi dari ini dikenal
dari teologi natural . Akan tetapi
teologi natural tidak dapat memberikan keimanan seseorang, ia
mesyaratkan wahyu Tuhan jika orang harus merenspon dengan keimanan dan menerima
keanggunan penyelamatan. Bagi Aquinas, wahyu adalah komunitas Tuhan tentang
kebenaran tanpa bantuan akal, ia tidak dapat diperoleh dengan sendirinnya,
nalar manusia adalah “ muqadimmah” bagi keimanan. John Locke mengembangkan hal
ini dengan menyatakan bahwa akal menetapkan suatu standar keebenaran .yanng
ditetapkan oleh pengetahuan terwahyu,diuji otoritasnya,wahyu itu tidak boleh
bertentangan dengan standar-standar itu. Dan posisi ini dikembangkan dalam
karya Richard Swinburn baru-baru ini.
Posisi ketiga, filsafat sebagi pembuat ruang bagi keimanan dapat melipti
pemikiran-pemikiran seperti William Ockham, Immanuel Kant, Karl Bath, dan Alvin
Plantiga. Refleksi, paling banter hanya dapat memperliatkan ketidakmemadahinya
dalam membuat pertimbangan – pertimbangan tentang agama, dengan menunjukan
keterbatasan-keterbatasannya, refleksi membuka kemungkinan agama, dan
menjelaskan ketergantungan manusia pada wahyu yang dengannya kita memperoleh
pengetahuan dari Tuhan.
Posisi keempat, filsafat sebagai study analisis terhadap agama baarangkali
adalah posisi yang paling akrab dan mencakup pemikir-pemikir seperti
Antony Flew , Paul Van Buren , R.B.
Braith Waite,dan D.Z Phillips. Ini merupakan posisi paling akrab karena
merupakan cara berfilsafat agama yang paling dominan dalam dunia berbahasa
Inggris. Tujuannya adalah menganalisis dan menjelaskan watak dan fungsi bahasa
keagamaan, menemukan bahasa untuk membicarakan Tuhan, apa dasar – dasar yang digunakan untuk mendukung
pengetahuan-pengetahuan mereka dan bagaimana
semua itu dikaitkan dengan cara
hidup mereka.
Posisi kelima, filsafat sebagai study
penalaran yang digunakan dalam pemikiran keagamaan, merupakan suatu
perkembangan modern dan dapat mencakup pemikir-pemikir seperti David Pailin,
Maurice Wiles, dan Jhn Hick. Pendirian dibalik pendekatan agama jenis ini
adalah bahwa umat beriman adalah manusia dan oleh karena itu, struktur
pemikiran mereka dan kebudaya-kebudayaan partikkular, dimana mereka berada didalamnya
merupakan kondisi bagi apa yang mereka yakini. Tujuannya mencoba melihat
telliti berbagai konteks dimana orang beriman melangsungkan kehidupannya,
mengidentifikasikan factor-faktor yang beroperasi dalam konteks itu yang dapat
memengaruhi kenyakinan seseorang, dan melihat bagaimana kenyakinan itu
diekspresikan dalam dokrin dan praktik. Penekanannya adalah pada kebudayaan
sebagai factor formatif dan berpengaruh terhadap kenyakinan keagamaan. Sejumlah
perangkat juga digunakan mencakup peranngkat historis, ilmiah, dan hermeneutic.
Pailin mlaporkan bahwa bentuk pendekatan ini memperoleh tanggapan yang
menentang – dan dia menunjukkan bahwa saat ini bentuk filsafat agama ini. Kita
mesti menyepkati hal ini. Tugas kita sekarang adalah berusaha mengidetifikasi
karakteristik yang menjadi inti pendekatan filosofis terhadap agama.[8]
2.8.
Pendekatan Fenomenologis
Dalam diskursus filsafat, tern fenomenologi,
bukanlah murni Husserlian. Jauh sebelumnya, istilah ini telah digunakan oleh
para filsuf untuk menjelaskan gejala atau penampakan sebuah realitas. Menurut
Cairus, orang pertama yang mengapresiasi tern ini adalah Lambert,
seorang filsuf yang karya-karyanya berpengaruh pada pertengahan abad 18,
terutama bukunya Neo Organom. Di buku ini, lanbert mengguanakan istilah
ini untuk menjelaskan teorinya tentang penampakan fundamental pada semua
pengetahuan empirik. Masih pada masa yang sama, Emmanuel Kant mmenggunakan
istilah ini untuk membedakan antara phenomena dan noumena.
Baginya, manusiahanya mengenal fenomen-fenomen yang tampak dalam kesadaran,
bukan noumena, yaitu realitas di luar (berupa bnda atau hal-hal yang menjadi
objek kesadaran kita) yang kita kenal. Pada abad 19, term ini diberi arti lain
oleh Hegel, yaitu conversant about mind, pengetahuan tentang pikiran. Menurutnya,
jika kita membaca pikiran semata-mata dengan pengamatan dan penggeneralisasian
berbagai fenomena dalam penampakan dirinya, maka kita hanya akan memperoleh satu
bagian dari pengetahuan mental, dan inilah yang disebut phenomenology of
mind.
Moritz
Lazarus memakai kata ini menjelaskan perbedaan antara phenomenology dan psychology.
Yang pertama dimaksudkan untuk menggambarkan kehidupan mental (mental life)
dan yang kedua mencari penjelasan sebab akibat (causal explanation)
kehidupan mental.
Filsafat Husserl dikembangkan melalui tiga tahap.
Pertama, dia merobohkan posisi ilmuwan psikologi psikometrik
yang kukuh dengfan dasar-dasar aritmatikanya. Bahkan, dia berusaha keras
membuktikan sikap anti psikologistik melalui dasar-dasar logika objektif dan matematis.
Kedua, dia bertolak dari filsafat konsepsional sebagai akar psikologi
deskriptif Brentanian untuk mengembangkan sebuah disiplin baru mengenai
“fenomenologi” dan sebuah posisi yang bersifat metafisik yang disebut
“transendental idealism”, dan ketiga, dia mentransformasikan
fenomenologinya yang pada awalnya disamakan dengan metode solipsisme ke dalam
suatu fenomenologi intersubjektif yang berujung ke dalam suatu pandangan hidup
ontologis yang mencakup dunia sosial tentang budaya dan sejarah.
Ketiga tahapan perkembangan fenomenologi Husserl ini
merupakan respon filosofisnya terhadap situasi sosial dan budaya masyarakat
Eropa pada saat itu. Husserl berpendapat bahwa penyebab terjadinya bkrisis
manusia Eropa saat itu karena mereka meninggalkan sikap dan semangat Yunanian
yang mempercayai adanya kebenara dan validitas universal (“universally valid
thruth”). Semangat ini kata Husserl, pernah menyatukan perbedaan Barat selama
beberapa abad. Namun, karena mereka mengingkari sikap ini, maka krisis pun
tidak terhindarkan. Untuk menyelamatkan krisis peradaban Eropa, dia menegaskan
perlunya dilakukan rehabilitasi terhadap gagasan-gagasan kepastian rasional
dengan cara kembali kepada metode fenomenologi, sebagai konsekuensi logis dari
“proyek” rehabilitasi ini. Begitulah ketika ia mengkritik para pendukung metode
sains natural seperti pragmatisme, “naturalisme” atau “psikologisme” kaum
positivistik yang menurutnya bertanggung jawab atas krisis humanitas tersebut.[9]
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa sebenarnya
pendekatan agama itu dapat di lakukan dengan brbagai metode yaitu :
-
pendekatan teologis yaitu pendekatan agama secara harfiah dapat diartikan
sebagai upaya memahami agama dengan menggunakan kerangka ilmu ketuhanan.
-
Pendekatan Yuridis adalah hukum, jadi yamg
dmaksud dengan pendekatan yuridis adalah pemahaman agama islam secara hukum
menurut islam.
-
Pendekatan Psikologi atau Ilmu Jiwa adalah ilmu yang mempelajari jiwa
seseorang melalui gejala perilaku yang dapat diamatinya.
-
Pendekatan Historis adalah ilmu yang didalamnya membahas berbagai peristiwa
dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, obyek, latar belakang, dan pelaku
dari peristiwa tersebut.
-
Pendekatan
Antropologis yaitu suatu
upaya untuk memahami agama dengan cara melihat praktik keagamaan yang tumbuh
dan berkembang dalam suatu masyarakat.
-
Pendekatan Sosiologis
adalah ilmu yang mempelajari kehidupan manusia dalam tata kehidupan bersama.
-
Pendekatan Filsafat yaitu sebagai pengetahuan dan penyelidikan dengan akal
budi mengenai sebab-sebab, asas-asas, hukum dan sebagainya terhadap segala yang
ada dialam semesta ataupun mengenai kebenaran dan arti adannya sesuatu.
3.2. Saran
Demikian
makalah tentang Berbagai Pendekatan Konteks Studi Islam yang sudah kami
paparkan. Kami menyadari makalh kami jauh dari sempurna maka dari itu kritik
yang membangun dari pembaca sangat kami harapkan, untuk perbaikan makalah ini.
Harapan dari pemakalah, semoga maklah ini dapat memberi pengetahuan baru dan
bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Geen opmerkings nie:
Plaas 'n opmerking